Wednesday, February 29, 2012

Wishful Wednesday [1]

Ada 'mainan' baru nih di blog, namanya Wishful Wednesday. Ikutan blog hop-nya Astrid. Yah, mengkhayal boleh lah, kali-kali ada yang membaca #kode yang ada di sini. Hehehe...

Ini aturan mainnya:
1. Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
2. Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku itu masuk dalam wishlist kalian ya!
3. Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
4. Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)

Nah, untuk yang pertama, adalah buku-bukunya Haruki Murakami tapi yang covernya terbitan Vintage.



Pertama gue membaca buku Murakami, Kafka on Shore, gue rada gak ngerti dengan jalan cerita yang 'ajaib' itu. Ditambah isinya yang lumayan vulgar. Tapi, saat gue membaca kumpulan cerita 'Birthday Stories', tiba-tiba gue jadi penasaran dengan karya-karya beliau yang lain. Ditambah lagi, cover terbitan Vintage yang unik. Gak banyak warna, paling hitam, putih, abu-abu, atau kadang plus warna merah.

Sejauh ini, yang tambahan baru di koleksi Haruki Murakami gue adalah Dance.. Dance.. Dance... Semoga kesampaian untuk nambah dengan buku yang lain.

Rumah di Seribu Ombak

Rumah di Seribu Ombak
Erwin Arnada
Gagas Media - Cet. I, 2011
388 hal.
(Gramedia Plasa Semanggi)

“Allah memberkati kita dengan keberanian. Rasa takut adalah hal yang kita ciptakan sendiri. Perasaan apa yang nanti menguasai kita adalah pilihan kita sendiri…”
(hal. 197)


Bicara tentang Bali, pastinya gak pernah lepas dari yang namanya pantai. Gak afdol, kalo ke Bali, gak main-main di pantai, meskipun hanya sebentar.

Gak terkecuali buku ini. Berkisah tentang persahabatan antara Samihi dan Wayan Manik – atau yang akrab dipanggil Yanik. Semua bermula ketika Yanik menyelamatkan Samihi dari keroyokan anak-anak yang ingin mencuri sepedanya. Sejak itulah, di mana ada Samihi, hampir selalu ada Yanik.

Yang membuat persahabatan mereka jadi unik, adalah latar belakang yang berbeda. Samihi beragama Islam dan Yanik beragama Hindu. Mereka berdua tinggal di Desa Kalidukuh, Singaraja. Daerah ini memang terkenal dengan penduduknya yang mayoritas Muslim. Dua kelompok penduduk dengan keyakinan yang berbeda ini hidup berdampingan dengan rukun.

Samihi mempunyai trauma takut dengan air. Gara-gara kakaknya yang meninggal karena tenggelam di laut. Sementara Yanik, adalah anak pantai sejati. Pantai Lovina yang terkenal dengan lumba-lumbanya itu adalah tempat Yanik menghabiskan waktunya. Tempat bergantung untuk mencari nafkah sekaligus berselancar. Yanik lah yang berperan besar dalam membentuk Samihi menjadi anak yang lebih tangguh dan percaya diri.



Sayangnya persahabatan mereka harus ‘terhenti’, sebuah luka lama terkoyak. Yanik ternyata menyimpan cerita sedih. Awalnya cerita ini adalah sebuah rahasia. Yanik berbagi dengan Samihi, yang sudah berjanji untuk tidak menceritakan kembali pada siapa pun. Tapi, demi menyelamatkan sahabatnya itu, justru Samihi harus ‘membongkar’ rahasia itu pada polisi adat. Sejak saat itu, persabahatan mereka mulai renggang.

Cerita dalam buku ini sederhana, tapi makna tidak sesederhana itu. Di tengah kondisi Indonesia yang kadang beda dikit bentrok, ada ormas-ormas yang merasa lebih baik dari pihak lain, dikit-dikit ribut, bentrok. Aduh.. bikin suasana jadi gak tenang. Baca buku ini, rasanya jadi ademmmm… judulnya udah ‘indah’, terkesan romantis (hahaha.. banyak yang kecele dengan judulnya nih), covernya juga teduh… cara penuturannya juga tenang banget. Tapi, endingnya.. huhuhuhu…. Sedih sekali…

Ditulis oleh Erwin Arnada, mantan pemred majalah yang bikin heboh itu. Novel ini sendiri hasil karya selama mendekam di LP Cipinang dan akan segera beredar film-nya.

Murder on the Orient Express


Murder on the Orient Express
(Pembunuhan di Orient Express)
Agatha Christie @ 1920
GPU – Cet, VIII, Juli 2007

Hercule Poirot, si detektif bertubuh mungil, berkepala bulat telur dengan kumis melintang dan sangat apik, menolak orang yang meminta pertolongannya, hanya gara-gara dia gak suka sama wajah si orang itu. Dan, malamnya, orang itu ditemukan tewas.

Hercule Poirot sedang dalam perjalanan kembali ke London menggunakan kereta api Orient Express. Seperti biasa, Poirot mengamati semua penumpang yang ada di kereta itu. Ia menilai karakter masing-masing orang dari pengamatan sekilasnya itu.

Orang yang meminta pertolongannya bernama Ratchett, seorang pengusaha asal Amerika. Kematian Rachett cukup menimbulkan kegemparan di kereta itu. Apalagi saat itu, kereta Orient Express terjebak dalam badai salju dan tak bisa jalan.

Untung di dalam kereta itu ada Poirot dan seorang dokter bernama Dokter Constantine yang membantu menyelidiki dan menganalisa kejadia mengerikan di kereta itu. Dari hasil analisa, kemungkinan pelakunya kidal, tapi koq ada juga yang diperkirakan pakai tangan kanan. Direktur kereta api, berpendapat, bisa jadi pelakunya perempuan yang sangat marah, yang katanya kalo lagi emosi, jadi sangat bertenaga.

Satu per satu penumpang dipanggil untuk diwawancara – di antaranya pelayan dan sekretaris Rachett, seorang perempuan bernama Mrs. Hubbard yang selalu menyebut-nyebut ‘Putri saya’ dalam setiap percakapannya, pasangan ningrat asal Hongaria – Count dan Countess Andrenyi, bangsawan asal Rusia – Putri Dragomiroff yang katanya berwajah seperti kodok beserta pelayannya, Hildegarde Schmidt, seorang guru asal Inggris, Mary Debenham, yang dicurigai karena percakapannya dengan Kolonel Arbuthnot dan orang Italia bernama Antonio Foscarelli.

Dengan rapi, Poirot menyusun hasil wawancara, mencocokkan alibi mereka dengan perkiraan waktu kejadian, mengamati sikap mereka yang luput dari pemeriksa yang lain. Sekecil apa pun itu, Poirot bisa menemukan fakta yang tersembunyi, yang cukup mengejutkan.

Setelah sekian lama, akhirnya baca Agatha Christie lagi. Perkenalan pertama dengan tante Agatha ini dari buku papa yang judulnya ‘Tirai’. Terus, sempet koleksi deh, ehhh.. dipinjem.. gak balik. Akhirnya, malah ada beberapa yang dikasih ke sodara-sodara. Favorit gue adalah 10 Anak Negro. Bikin merinding. Satu hari, gue sekeluarga lagi liburan di Puncak, nginep di villa gitu deh. Nah, pas malemnya ada film akhir pekan, setting-nya di pedesaan di Indonesia, ceritanya mirip dengan cerita 10 Anak Negro ini. Gue langsung merinding, karena setting di film itu sama dengan tempat gue waktu itu. Sepi, terus tokoh penjaga villa yang misterius, yang kalo di awal pasti jadi tertuduh utama. Hiiii….

Gue lebih suka cerita yang tokohnya Hercule Poirot dibanding Miss Marple. Mungkin karena sosoknya yang lucu itu, caranya menyelidiki dan menganalisa kasus dengan ‘sel-sel kelabu’nya itu.

Tapi, gue rada gak ‘puas’ nih dengan ending cerita di buku Murder on the Orient Express. Seperti biasa sih, pembunuhnya orang yang tampak baik, gak disangka-sangka, tapi di buku ini, kenapa nyaris semua penumpang ada hubungannya dengan si korban. Ini yang bikin gue jadi rada gak puas. Semua ternyata punya kedok, dan yang pasti emang punya potensi untuk jadi pembunuh.

Wednesday, February 22, 2012

Featured on CHIC


wahhh.. surprise ... surprise... waktu di-mention sama CHIC di twitter

Hah??!! Benar-benar sebuah 'kebanggaan' buat gue berhasil masuk ke dalam rubrik Blog Review di majalah CHIC


Bagi gue ini adalah sebuah 'tanggung jawab'. Artinya, gue harus lebih rajin isi blog gue ini, harus lebih banyak belajar untuk mereview buku dengan lebih baik lagi.

Dan seperti kata @balonbiru, gak boleh gak PD lagi :)

Saat majalah CHIC itu udah di tangan, gue gak berhenti bolak-balik ngeliat bagian Blog Review :D Hehehe...

Terima kasih buat CHIC.

Tuesday, February 21, 2012

Three Weddings and Jane Austen

Three Weddings and Jane Austen
Prima Santika
GPU – Januari 2012
464 hal.
(via bookoopedia.com)

Adalah Om Tan yang membuat gue memutuskan untuk membeli dan membaca buku ini. Gara-gara posting-an covernya di twitter, lalu gue baca sinopsisnya dan ternyata.. mmm.. menarik…

Ibu Sri – ibu dari 3 orang anak perempuan – penggemar berat Jane Austen. Masa remajanya memang dihabiskan di Inggris sana, jadi gak heran jadi beliau familiar dengan Jane Austen. Bahkan nama-nama anak perempuannya diambil dari tokoh-tokoh di novel Jane Austen – Emma dari Emma Woodhouse di novel ‘Emma’, Meri dari Marianne Dashwood di novel ‘Sense and Sensibility’, dan yang terkecil, Lisa dari Elizabeht Bennet di novel ‘Pride and Prejudice’.

Ketiganya bisa dibilang dalam usia yang cukup matang untuk menikah. Tapi sayangnya, tampaknya urusan percintaan ini jadi masalah yang rumit untuk ketiga gadis itu. Ibu Sri sebenarnya cukup khawatir. Maklumlah, namanya juga ibu-ibu. Permasalahan yang dihadapi ketiga anak perempuannya berbeda satu sama lain, tapi Ibu Sri selalu punya jawaban yang masuk akal dan semua itu didapatnya dari novel-novel Jane Austen.

Emma, Meri dan Lisa, sebenarnya rada ‘anti’ dengan novel klasik. Karena bahasanya yang susah dan kadang tokoh-tokohnya menurut mereka terlalu ‘dangkal’. Tapi, Ibu Sri dengan sabar selalu menjelaskan dengan perlahan, hingga akhirnya mereka bisa menerima penjelasan Ibu Sri. Jadi, meskipun belum membaca buku-buku Jane Austen itu, mereka bertiga lumayan hafal dengan isi ceritanya.

Yang membuat novel ini unik, selain cover-nya itu, ya karena cara ‘pendekatannya’. Kalo masalah cinta sih, udah sering kan dibaca di mana-mana, tapi latar belakangnya yang bikin menarik. Kalo gue jadi anaknya bu Sri, pasti gue bilang, “Please deh, Ma.. no more Jane Austen, deh… “ Hehehe… tapi, anak-anak Ibu Sri ini emang baik-baik… semuanya sama sabarnya dengan Ibunya.

Di buku ini, gak ada tokoh antagonis. Ini buku yang sangat ‘sopan’. Bahkan para cowok-cowoknya juga baik-baik. Ibu Sri dan anak-anaknya bergantian bercerita. Hingga kita tahu, apa permasalahan mereka masing-masing. Tapi nih… Mas Prima ini beberapa kali ketuker antara Mas Dian dan Mas Deni :D

Dulu gue sering banget beli novel ‘metropop’, sekarang udah jarang, kecuali dari beberapa penulis. Karena jujur, gue sering merasa rada ‘terganggu’ dengan terlalu banyaknya kalimat berbahasa Inggris yang bersliweran. Meskipun lebay nih, gue sering berpikir, “Gue baca novel Indonesia atau Inggris sih?” Nah, membaca novel ini, bagi gue terasa lebih ‘membumi’. Mungkin karena latar belakang keluarga Jawa yang ‘kental’, para tokohnya juga sopan-sopan, masih memegang teguh adat ketimuran. Meskipun ada kalimat-kalimat berbahasa Inggris, tapi sebagian besar itu dari kutipan-kutipan buku Jane Austen. Kalo pun mereka berdialog dengan bahasa Inggris, itu tak terlalu banyak dan gak berlebihan.

Dan selesai membaca buku ini, yang ada di pikiran gue, “Segera cari novel-novel Jane Austen.”

Twivortiare


Twivortiare
Ika Natassa @ 2011
Self published via nulisbuku.com
288 hal.
(via nulisbuku.com)

Penasaran dengan ending Divortiare? Sebaiknya buruan baca buku ini. Gimana sih ‘nasib’ Beno dan Alexandra selanjutnya.

Lewat tweet-nya, Alexandra Rhea menceritakan kehidupan setelah menikah kembali dengan Beno. Mulai dari mesra-mesranya mereka berdua kembali, cerita-cerita saat mereka masih pacaran, terus kenapa sampai akhirnya mereka bisa memutuskan untuk menikah kembali, plus pertengakaran mereka yang juga bolak-balik terjadi. Gak ketinggalan gossip-gosip barena Wina, sahabatnya Alexandra.

Awalnya, gue asyik-asyik aja baca buku ini. Karena ya alas an di atas, pengen tau aja gimana Beno dan Alexandra selanjutnya. Tapi, rada ke belakang, gue jadi agak-agak ‘terganggu’, atau bosan kali ya, baca tweet-nya Alexandra yang manis-manis sama Beno, mesra berdua di Amrik sana… eh, tiba-tiba ada tweet yang rada ‘kasar’ atau ‘memaki-maki’ Beno. Yah… mulai berantem lagi, mulai ribut lagi. Alex ngambek dan ‘kabur’ ke rumah mereka di Kebagusan… Beno nyusul.. baikan lagi…. Gak lama.. berantem lagi… Aduh… cape’ deh bacanya…

Yang menarik adalah bagian di mana mereka berdua saling menguatkan saat Alexandra belum juga hamil. Gak ada yang saling menyalahkan, tapi saling memberi semangat, meskipun dua-duanya sama-sama down.

Tapi… bagian akhirlah yang berhasil ‘menyentuh’ gue. Tweet tentang surat dari Beno bikin gue terharu.. hu..hu.. hu… Biar deh, si Alex harus tau tuh, jangan marah-marah terus, jangan asal nuduh terus… biar dia sadar, how much Beno loves her… :D

Banyak yang jatuh cinta sama Beno.. si dokter yang cool tapi protektif banget sama Alex. Cemburu berat kalo Alex dideketin sama cowok lain, tapi tetap lempeng saat Alex marah-marah karena Beno diem aja dipegang-pegang sama dokter cantik kolegaknya di rumah sakit.

Tapi, Beno tetap cinta sama Alex, meskipun hanya bisa masak scramble egg tiap pagi plus nasi goreng nugget. Atau Alex yang bisa ketawa dan senyam-senyum dengan ke-geek-annya Beno.

Terus gue mikir nih… koq lama-lama seperti ‘too much information’. Twitter emang bisa dibilang sarana curhat, update status… tapi kalo baca timeline-nya Alexandra – menurut gue – terlalu ‘pribadi’ untuk diumbar ke publik. Emang sih, dipasang ‘gembok’, jadi gak semua orang bisa liat timeline-nya, kalo gak diapprove sama beliau ini. Sampai-sampai gue berpikir, apa iya dalam kehidupan ‘nyata’, ada orang yang bercerita segitu pribadi-nya di twitter. Hehehe.. gue terlalu ‘berkaca’ sama diri gue sendiri, yang membatasi apa yang gue bagi di ruang publik. Yang gue follow dan follower gue pun bisa dibilang yang punya minat sama dengan gue. Sementara keluarga hanya kakak dan adik gue, temen-temen kantor gak ada yang gue follow (gak ada yang tau juga sih gue punya account twitter :D)

Tapi, sarana twitter untuk menghasilkan sebuah karya boleh diacungi jempol. Udah ada beberapa buku yang gue baca yang asal atau idenya dari twitter, seperti Kicau Kacau-nya Indra Herlambang atau Tweets for Life – Desi Anwar.

Seperti biasa, Ika Natassa tampil dengan gayanya yang ceplas-ceplos. Dan, iya.. akhirnya gue follow tuh account @alexandrarheaw dan semakin gue baca timeline-nya, gue jadi merasa Alexandra… Beno.. even si mbok itu nyata.. hahahaha.. (tapi koq.. di list following justru gak ada tuh account Wina – sahabatnya sendiri?)

O ya.. sedikit ‘kritik’, di buku ini lumayan banyak bertebaran ‘typo’. Udah gitu, ada tweet yang sama yang beberapa kali diulang. Entah karena kelupaan, atau emang di-tweet beberapa kali. Soalnya hanya beda satu halaman. (gue lupa halaman berapa… catetan ketinggalan di rumah)

Friday, February 17, 2012

Divortiare


Divortiare
Ika Natassa @ 2008
GPU – Cet. II, September 2008
288 hal.
(Gramedia PIM)

Sebenernya gue udah pernah baca buku ini. Tapi, berhubung mau baca sambungannya, Twivortiare, dan gue rada-rada lupa ceritanya, maka gue pun meluangkan waktu untuk membaca lagi Divortiare. Biar lebih inget awal mulanya gimana.

Alexandra dan Beno, adalah pasangan mantan suami-istri. Mereka berdua adalah pasangan yang super sibuk. Alexandra bekerja di bank sebagai credit analyst, sementara Beno adalah dokter bedah jantung. Jam kerja yang tak tentu, terutama Beno, yang kerap mendapat panggilan mendadak dari rumah sakit. Alexandra juga sibuk banget, sering pergi-pergi ke luar kota juga. Tapi namanya sebagai istri, Alexandra juga menuntut perhatian dari suami. Bukan hanya bertemu saat sarapan atau tengah malam saat udah ngantuk-ngantuk dan gak sempet untuk berbincang-bincang lagi.

Puncaknya, komunikasi yang tak lancar, ego keduanya yang tinggi, akhirnya Alexandra memutuskan untuk berpisah dengan Beno. Daripada terus menerus bertengkar, akhirnya, itulah keputusan pahit yang akhirnya mereka ambil… berpisah.

Setelah berpisah pun, hubungan mereka bisa disebut love-hate relationship. Kalau sakit, Alexandra masih tetap meminta Beno untuk memeriksanya. Sama-sama cemburu saat melihat mantan berdekatan dengan orang lain.

Gue inget, hal pertama yang membuat gue membeli buku ini, karena gue suka dengan cara dengan buku pertama Ika Natassa – A Very Yuppy Wedding, ceplas-ceplos, meskipun kadang gue merasa ‘terganggu’ dengan begitu banyaknya kalimat bahasa Inggris yang bertebaran. Lalu, cover-nya yang simple. Kotak ‘His’ yang rapi, dan kotak ‘Her’ yang berantakan. Begitu membaca buku ini, gue ‘mengerti’, kotak itu seolah mewakili karakter di buku ini. Beno yang cool – cenderung lempeng dan kaku. Sementara, Alexandra yang to the point, terkadang gampang ‘panas’, tapi juga tegas.

Banyak yang pastinya jatuh cinta sama tokoh Beno. Kaya’nya sebagai tokoh yang ‘tertindas’ hahaha.. .sabar menghadapi Lexy, tapi kalo udah marah, kaya’nya bikin kita gak bisa berkata apa-apa. Dengan hubungan yang digambarkan seperti itu, harusnya sih ‘Divortiare’ itu gak perlu terjadi, asal mereka mau berusaha untuk bertahan sedikit lagi (duh.. sok tau banget sih gue ini). Sementara Denny… aduh, bosen ah. Tokoh yang sok-sok romantis, sok perhatian.. biasa aja jadinya… (menurut gue lagi lhoooo…) - tapi hmm.. seandainya gue masih single, ada yang begitu ke gue sih.. gue suka-suka aja.. hehehe.. (gak konsisten..)

Oh ya, ending menurut gue juga asyik. Kalo gue jadi bertanya-tanya, kira-kira Beno sama Alexandra jadi gimana nih? Akan tetap sebagai ‘teman’, atau tetap ber-love-hate relationship, atau mau ada kesempatan kedua ?

Oke lah.. sekian aja untuk Divortiare ini, nantikan ya tayangnya Twivortiare… soon…

Thursday, February 16, 2012

Reading Challenge 2012 - Books in English


Challenge baru lagi. Kali ini 'Books in English' di blog SurgaBuku. Syaratnya simple aja, minimal baca 1 buku berbahasa Inggris setiap bulannya. Daftarnya baru ada yang bulan January & February, yang lainnya menyusul aja deh, tergantung mood mau bacanya apa ;)

Mari membuat daftarnya:

January:
1. The Truth about Forever – Sarah Dessen
2. Charlie & The Great Glass Elevator – Roald Dahl
3. If I Have Wicked Stepmother, Where’s My Prince? – Melissa Kantor

February:
1. A Christmas Carol – Charles Dickens
2. On the Other Hand – Chris Cleave


March: 

1. The Sweetness at the Bottom of the Pie – Alan Bradley


April: ...
May: ...
June: ...
July: ...
August: ...
September: ...
October: ...
November: ...
December: ...

Delirium


Delirium
Lauren Oliver @ 2011
Vici Alfani Purnomo (Terj.)
Mizan, Cet. 1 - Desember 2011
518 hal.
(Gramedia Plaza Semanggi)


Hal yang paling mematikan dari yang mematikan: cinta akan tetap membunuhmu, tak peduli apakau kau memilikinya atau tidak.
[hal. 11]

Hati adalah benda yang paling rapuh. Karena itu, kalia harus sangat berhati-hati
[hal. 16]

Amora Deliria Nervosa – nama yang cantik untuk sebuah penyakit. Sudah 64 tahun lamanya, sejak Pemerintah Amerika Serikat mengidentifikasi bahwa cinta adalah penyakit yang mematikan, oleh karenanya harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Segala hal yang berbau-bau ‘percintaan’ atau yang menjurus ke arah itu pun dilarang. Musik-musik, puisi, buku-buku roman dilarang, karena mengandung kata-kata dan ide-ide yang berbahaya. Diseleksi dengan ketat. Kalau pun ada kisah Romeo & Juliet di buku pelajaran, itu adalah sebuah peringatan bahwa cinta itu berbahaya, bukan untuk menunjukkan keindahan cinta. Jika sepasang muda-mudi kedapatan sedang berduaan, mereka akan segera ditangkap.

Untuk mencegah penyakit cinta ini, di usia 18 tahun, setiap orang akan melalui sebuah prosedur yang akan membuat mereka terbebas dari rasa cinta. Diawali dengan serangkaian tes sebelum akhirnya melewati prosedur itu. Di dalam laboratorium, mereka akan ‘dibedah’ dan kemudian akan kembali seperti manusia baru yang akan lupa dengan masa lalu mereka. Mereka akan jadi manusia ‘statis’ tanpa emosi, pasangan hidup pun sudah diatur. Hubungan suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik, hanya status, tanpa ada rasa kasih sayang.

Semua orang yang sudah melewati prosedur itu berkata hidupnya akan lebih bahagia dan tenang. Karena semua yang dilakukan pemerintah adalah untuk melindunig rakyatnya dari bahaya penyakit itu.

Ada orang-orang yang menolak untuk menjalani prosedur itu, hingga akhirnya mereka kabur melewati daerah Portland. Mereka disebut kaum Invalid atau Simpatisan, dan tinggal di luar perbatasan, di daerah Alam Liar. Mereka yang berhasil ditangkap dijebloskan ke penjara bernama Kriptus.

Lena Haloway, sedang dalam penantian menunggu prosedur itu. Sebagai gadis remaja, Lena sedang dalam masa bersenang-senang dengan sahabatnya, Hana. Meskipun ia masih tetap berhati-hati, tetap berlaku baik, tidak melanggar jam malam dan batas-batas lainnya.

Tapi, saat ia berkenalan dengan Alex Sheates, semuanya berubah. Awalnya, Lena piker Alex sudah ‘disembuhkan’, dengan melihat tiga titik bekas suntikan di lehernya. Aman untuk berdekatan dengan orang-orang yang sudah disembuhkan. Bersama Alex, Lena merasakan yang namanya gejala-gejala ‘penyakit’ cinta ini. Lena ingin memberontak, ingin lepas dari prosedur yang sudah menantinya.

Membaca buku ini, gue merasa menonton film bernuasa ‘kecokelatan’ atau ‘sephia’. Hehehe.. entahlah kenapa begitu. Gue merasa tokoh-tokohnya bermuka datar, tanpa emosi. Sementara yang berwarna hanya para remaja yang belum mengalami proses penyembuhan. Dan begitu masuk ke Alam Liar, baru warna-warna mulai muncul.

Apa ya rasanya hidup di dunia seperti itu? Dunia yang tanpa emosi? Mengerikan banget. Rasanya pasti dingin.

Buku ini menarik perhatian, sejak gue membaca sinopsisnya.Gue tau buku ini dari rubrik di Free! Magazine yang memilih buku ini jadi salah satu buku favorit di tahun 2011. Seperti Romeo & Juliet, buku ini mengisahkan kisah cinta yang ‘tragis’.

Tapi ya.. setelah membaca buku ini, masih ada pertanyaan yang tersisa – entah mungkin terlewat sama gue atau gimana… kenapa sih tiba-tiba Pemerintah Amerika mengkategorikan Cinta sebagai penyakit? Awal mulanya koq gak diceritain ya?

Satu lagi yang rada gak sreg sih, cover-nya hehehe…

Gak sabar menunggu lanjutan buku ini, semoga segera diterjemahkan.

Friday, February 10, 2012

On the Other Hand


On the Other Hand
Chris Cleave @ 2008
Sceptre (Hodder & Stoughton – 2009
378 hal.
(Periplus Pondok Indah Mall)

"We don't want to tell you what happens in this book. It is a truly special story and we don't want to spoil it.

Nevertheless, you need you know enough to buy it so we will just say this:

This is the story of two women.

Their lives collide one fateful day, and one of them has to make a terrible choice.

Two years later, they meet again-the story starts there...

Once you have read it, you'll want to tell your friends about it. When you do, please don't tell them what happens either. The magic is how it unfolds." (from Goodreads.com)

Kalimat-kalimat di atas, yang juga tertera di cover belakang buku On the Other Hand, langsung membuat gue penasaran akan isi buku ini. Begitu misterius. Ditambah lagi, dari beberapa review atau sharing di blog yang gue kunjungi, gue liat buku ini termasuk yang recommended.

Tapi.. ow… ow.. ow.. gue rada kecewa saat membacanya. Ternyata, buku ini tidaklah seheboh synopsis itu. Yah, karena synopsis yang misterius, rasanya gue juga gak akan membuka terlalu banyak cerita di review kali ini. Hehehehe..

Rasa penasaran, membuat gue bersabar untuk tetap membaca buku ini. Yah, pengen tau, apa sih sebenernya rahasia itu. Awalnya, rada membosankan… lalu, sampai di bagian di mana kejadian ‘itu’ berlangsung, gue semangat lagi. Seolah mulai mendapat titik terang. Tapi setelah itu… yah… gue rada cepet bacanya.. karena mulai membosankan lagi.

Tokoh ada Little Bee, si gadis Nigeria yang melarikan diri. Pasangan suami istri, Andrew dan Sarah, yang secara tidak sengaja bertemu dengan Little Bee di pantai tempat tragedi itu terjadi. Yang membuat liburan Andrew dan Sarah rusak, yang membuat Little Bee kehilangan kakaknya yang cantik, Kejadian yang membuat mereka ‘terikat’

Ada Lawrence, selingkuhannya Sarah. Dan si kecil Charlie, yang suka banget pake baju Batman. Yang pengen menumpas kejahatan. Yang merasa bersalah karena di hari kematian ayahnya, Charlie gak pakai kostum Batman, makanya, ada penjahat yang ambil ayahya pergi. Gue suka membaca bagian percakapan antara Little Bee dan Charlie. Sama-sama polos dan bikin terharu.

Bukunya muram banget. Gak ada tawa, hanya senyum sinis sedikit. Penuh dengan rasa tertekan dari tokoh-tokohnya, terutama Sarah. Little Bee, meskipun datang dari Nigeria, tapi dia gadis yang cerdas. Di antara para pengungsi illegal, dialah yang paling ‘berotak’, dia bisa bahasa Inggris dengan lancer, berharap diterima di masyarakat Inggris, tapi dipandang sebelah mata.

Tokoh Sarah adalah tokoh yang ‘melelahkan’ untuk dibaca. Gak tau kenapa, gak sabar aja, kalo udah bagian Sarah yang cerita.

Sementara tokoh Andrew, justru membuat gue simpati. Karena, rasanya dia yang paling tertekan, sampai akhirya bunuh diri.


Banyak konflik yang disajikan, yang sepertinya menyindir pemerintah Inggris, misalnya tentang masalah perlakuan terhadap kaum pengungsi (terutama yang illegal), tentang masalah ras, atau juga tentang keserakahan orang-orang kalo udah ngeliat ‘tambang minyak’.

O ya, gue gak tau kalo buku On the Other Hand ini adalah buku yang sama dengan Little Bee. Kalo di Periplus, atau toko buku manapun, saat gue melihat-lihat buku import, gue suka mencatat dulu mana buku yang kira-kira menarik, buat gue browse dulu di internet, ngeliat review dari orang-orang. Untung gue browsing dulu ke website-nya Chris Cleave, jadi gue tau kalo dua buku ini adalah buku yang sama. Little Bee ternyata judul yang beredar di Amerika. Covernya lebih unik. Untung aja… kalo gak, bisa kebeli dua buku deh

Ma’af ya, hanya bisa kasih 2 botol madu untuk Little Bee

Ayahku (bukan) Pembohong

Ayahku (bukan) Pembohong
Tere-Liye @ 2011
GPU – Cet. V, Januari 2012
(Gramedia Plasa Semanggi)

Dam adalah seorang anak yang dibesarkan dengan kisah-kisah menakjubkan yang diceritakan oleh ayahnya. Kisah-kisah itu adalah kisah saat ayah Dam masih muda. Jika diperhatikan, kisah itu mirip dengan dongeng, yang patut dipertanyakan kebenarannya. Sebut saja cerita ayahnya yang katanya berteman akrab dengan pemain sepak bola dunia yang dikenal sebagai Kapten, atau tentang layang-layang raksasa suku Penguasa Angin dan kisah tentang petualangan ayah Dam di Lembah Bukhara, atau ayah Dam yang berteman dengan seorang hakim di luar negeri yang dikenal dengan julukan si Raja Tidur.

Bagi Dam kecil, kisah-kisah itu memacu semangatnya. Meski kerap diejek oleh teman-teman sekolahnya, kisah itu menjadi ‘alat’ Dam untuk dianggap lebih oleh temannya yang sombong bernama Jajrit.

Tapi ayah Dam sering kewalahan mana kala Dam bersikeras ingin berkenalan dengan Sang Kapten. Dam ingin mengirim surat untuk Sang Kapten, bahkan bersalaman saat mereka menyaksikan pertandingan persahabatan antara tim sepak bola Sang Kapten dengan tim Indonesia.

Namun perlahan, saat Dam semakin dewasa, ia mulai mempertanyakan kebenaran kisah-kisah itu, yang selalu berujung pada pertengkaran Dam dengan ayahnya. Puncaknya, saat ibu Dam sakit keras dan meninggal dunia, Dam pun berhenti percaya akan kisah-kisah tersebut. Dan sejak saat itu pula, hubungan Dam dengan ayahnya merenggang.

Saat dewasa dan sudah berkeluarga, Dam berusaha sebisa mungkin tidak ‘mencemari’ pikiran anak-anaknya dengan kisah itu. Ia marah dan terganggun kala ayah Dam mengulang kisah tersebut kepada cucu-cucunya.

Sebenarnya tanpa Dam sadari, kisah-kisah itu mempengaruhi jalan hidupnya. Dam yang berprofesi sebagai arsitek, sering membuat desain bangunan berdasarkan imajinasinya dari kisah-kisah ayahnya. Bahkan, ia berhasil menjuarai lomba renang karena ia berkaca pada semangat sang Kapten. Tapi, rasa angkuh membuatnya tidak mau mengakui semua itu kala dewasa.

Penasaran dengan tulisannya Tere-Liye, apalagi katanya, di goodreads.com, rating-nya cukup tinggi. Buku-bukunya juga udah lumayan banyak, sebut aja Hafalan Sholat Delisa yang udah dibuat film-nya. Ini buku pertama beliau yang gue baca.

Ceritanya sederhana aja, mengalir dengan tenang, gak banyak kejutan-kejutan. Tapi, isinya lumayan ‘dalem’. Tentang hubungan orang tua dan anak, tentang apa sih arti ‘bahagia’ itu. Gue jadi pengen biar bisa rutin bacain cerita buat Mika tiap malem. Bukan hanya biar gue deket sama Mika, tapi biar Mika juga bisa punya imajinasi yang semoga berguna untuk dia saat dewasa nanti – seperti Dam.

Bagian yang rada menggangu sih, adalah tentang Jarjit yang tajir itu, yang sekolah di Inggris dan temenan sama pangeran Inggris sana. Rada berlebihan sih buat gue. Selebihnya, oke lah.

Thursday, February 09, 2012

A Christmas Carol

Sampul A Christmas Carol edisi pertama tahun 1843

A Christmas Carol
Charles Dickens @ 1843
(via Project Guttenberg)

A Christmas Carol bercerita tentang Ebenezer Scrooge, seorang laki-laki tua yang pemarah dan penyendiri. Mempunyai usaha hmmm – simpan pinjam (bener gak sih?) yang dulu didirikannya bersama mendiang sahabatnya, Jacob Marley. Gak ada orang yang menyapanya, karena akan selalu dibalas dengan ketus. Bahkan, di saat-saat yang seharusnya gembira seperti hari Natal, Scrooge tetap marah-marah. Diundang makan malam sama keponakannya, malah dia tolak. Diajak menyumbang untuk kaum miskin, dia tolak, malah Scrooge bilang, “Biar aja mereka mati kelaparan, biar mengurangi populasi dan masalah.” (Gitu sih kira-kira yang gue terjemahinkan secara bebas.. hehehe)

“Humbug!” itulah gerutuan khas Scrooge (dan hihihi.. gue pernah mengucapkan ini pas gue lagi bt di kantor!)

Suatu malam, menjelang tidur, tau-tau, dia ngeliat hantu temannya, Marley. Tadinya dia gak percaya. Hantu Marley sedih ngeliat sikap temen lamanya itu. Dan Hantu Marley bilang, bahwa aka nada 3 ‘penampakan’ di 3 malam berturut-turut, yang akan membantu Scrooge jadi orang yang lebih baik. Lagi-lagi Scrooge gak percaya, sama muncullah ‘Penampakan Pertama’ – dialah Ghost of Christmas Past. Sosoknya seperti kurcaci. Hantu pertama ini mengajak Scrooge kembali ke masa kecil dan masa muda Scrooge. Di mana Scrooge ternyata gemar baca, tapi sayangnya, selalu merasa kesepian. Ngeliat masa lalunya aja, udah bikin Scrooge stress nungguin Hantu-Hantu berikutnya.

Penampakan kedua adalah Ghost of Christmas Present, dengan kostum hijaunya. Scrooge diajak berkunjung ke rumah keluarga Crachit yang menurut ‘penerawangan’ akan kehilangan anak laki-laki kecil mereka. Di antara rumah yang ia datangi, beberapa masih mendoakan Scrooge

Dan penampakan ketiga adalah yang paling mengerikan, yang paling bikin merinding, yaitu Ghost of Christmas Yet to Come. Hantu ini gak mengucapkan sepatah kata pun, hanya tunjuk sana-tunjuk sini. Makin serem gak sih. Scrooge diajak mendengar perkataan orang-orang tentang kematian seorang laki-laki tua, sampai Scrooge penasaran siapa sih yang mereka bicarain. Ada orang-orang yang merasa kehilangan, ada yang merasa biasa-biasa aja.

Nah, apakah Scrooge akan berubah seperti yang diharapkan Marley?

Apa yang disampaikan Charles Dickens dalam buku ini sebenarnya ‘simple’ aja dan bisa untuk semuanya. Dalam arti, bukan hanya untuk yang merayakan natal, tapi untuk semua umat manusia (halah…). Gimana si Mr. Scrooge yang kikir diajak berubah dengan menelusuri kehidupannya sendiri di masa lalu, masa sekarang dan masa depan.

Agak deg-deg-an mau sharing A Christmas Carol ini. Banyak alasannya, salah satunya, gue jarang baca buku klasik. Baca yang bahasa Indonesia aja kadang gak nyambung, apalagi yang bahasa Inggris. Gue juga takut salah ‘interpretasi’. Takutnya apa yang gue baca ternyata salah gue artiin. Hehehe.. maklum bahasa Inggris gak canggih-canggih amat. Untuk novel yang lebih modern, oke lah. Tapi untuk yang klasik seperti ini, gue rada ‘jatuh-bangun’ juga sih… (hmm.. oke.. yang terakhir emang agak berlebihan)

Makanya, saat @bacaklasik mengadakan bulan #BacaDickens, gue pun tertarik untuk berpartisipasi. Gak banyak karya Dickens yang gue ketahui, hanya Oliver Twist dan Great Expectations. Itu pun gue tau, karena gue udah pernah nonton filmnya, tapi belum pernah baca bukunya. Setelah liat-liat di Project Guttenberg, akhirnya pilihan gue jatuh pada A Christmas Carol. Karena ceritanya paling pendek dan kaya’nya paling ‘ringan’.

Ilustrasi di edisi yang gue baca juga sangat menarik, melengkapi buku ini dan gue pun bisa mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang novel ini.

Ternyata A Christmas Carol udah ada filmnya, beredar tahun 2009, dibintangi sama Jim Carrey, Gary Oldman dan Colin Firth. Hmm… cari di mana ya? Dan kalo buku ini suatu saat diterjemahin, gue pengen baca lagi, biar lebih ngerti… :)

Terima kasih ya, buat @bacaklasik yang ngadain acara ini… kapan-kapan lagi ya… :)

*review kalian dibuat dalam rangka Bulan Dickens bersama @bacaklasik

Harmoni dalam “?”


Harmoni dalam “?”
Melvy Yendra & Andriyati
Penerbit Mahaka, Cet. I – Desember 2011
344 hal.
(hadiah ulang tahun dari temen kantor)

Ada beberapa kisah dalam novel ini yang dirangkum menjadi sebuah rangkaian yang pada akhirya saling berhubungan. Mmm… mirip-mirip film Crash. Di mana banyak cerita di antara orang-orang yang saling berhubungan.

Kisah pertama dari Rika yang baru saja menjanda karena tidak mau dipoligami. Cobaan yang menimpanya membuat keyakinannya sebagai pemeluk agama Islam goyah dan ia menemukannya di dalam agama Katolik. Ia pun pelan-pelan belajar untuk meyakini agama barunya dan berusaha menerima pandangan sinis dari orang-orang di sekitarnya.

Lalu, ada Surya, seorang pemeran figuran, tapi seringnya menganggur. Diusir dari tempat kosnya, disindir karena kedekatannya dengan Rika. Ia mendapatkan hidayah setelah membantu Rika di acara Paskah dengan berperan sebagai Yesus.

Cerita lain adalah tentang Koh Tan - yang mempunyai rumah makan bernama Canton Chinese Food. Ia dan istrinya sangat menghormati pegawai dan pelanggan mereka yang beragama Islam. Di rumah makan itu, memang menyediakan dua pilihan menu – yang halal dan tidak halal. Tapi, ia memisahkan peralatan masaknya. Ia memberi kebebasan bagi karyawannya yang Muslim untuk beribadat.

Ada Menuk dan ibunya yang terpaksa bekerja di restoran Koh karena tuntutan ekonomi. Meski hati kadang berat, tapi terpaksa.

Ada Hendra, anak Koh Tan, yang jatuh hati pada Menuk. Tapi cintanya ditolak karena Menuk lebih memilih Soleh.

Lain lagi, Soleh yang terpaksa menggantungkan hidupnya pada Menuk karena tak kunjung memperoleh pekerjaan.

Ini adalah potret sebagian kecil masyarakat Indonesia. Dengan berbagai perbedaan, mereka berusaha menjembataninya. Mereka hidup rukun dan damai. Meski diterpa sindiran, kesinisan, tapi toh, karena keyakinan mereka tetap lapang dada.

Di buku ini juga diceritakan adanya provokator yang berusaha merusak apa yang sudah berjalan dengan baik. Persis seperti baca Koran, ada berita pembunuhan seorang pastur, penyerangan restoran Koh karena gelap mata, ada juga teror bom di gereja. Rada klise sih ceritanya, tapi menarik untuk tetap dibaca. Yah, ada beberapa typo-typo sih. Tapi, gue lumayan suka dengan tokoh-tokoh di sini. Gak ada yang terlalu baik, dan gak ada yang terlalu jahat. Menarik mengikuti konflik ‘batin’ di dalam diri para tokoh.

Monday, February 06, 2012

The Naked Traveler #3

Link
The Naked Traveler #3
Trinity
B – First (2011)
324 hal.
(hasil swap sama @ayund)

Setelah beredar cukup lama, baru sekarang gue akhirnya bisa membaca buku The Naked Traveler #3. Biarpun udah ada bukunya, gue masih cukup rajin buat menengok blog-nya TNT ini. Masih tetap, membuat *ngeces*. Tapi kalo kata Trinity , “Worrying get you nowhere.” Jadi jangan hanya ngeces atau iri, ayo.. segera bikin planning untuk berlibur.

Tapi… yah.. apa boleh buat.. sementara belum ada kesempatan untuk berlibur, gak ada salahnya baca-baca ceritanya Trinity dulu. Masih tetap menghibur dan lucu – malah gak terlalu garing kaya’ dulu. Buat gue, humornya malah lebih segar. Trinity gak malu untuk mentertawakan diri sendiri.

Di buku ketiga ini, tampaknya pembagian bab atau cerita lebih teratur dan sistematis. Membuat pembaca jadi lebih gampang mengikutinya. Gak campur aduk atau berulang-ulang seperti yang gue temui di buku pertama. Mungkin karena Trinity udah lebih canggih dalam menulis.

Gara-gara semakin nge-top dengan TNT-nya atau makin terkenal sebagai travel writer, Trinity kerap mendapat kesempatan istimewa. Sebut aja, berhasil masuk Metro TV plus jalan-jalan ke Sumba gratis.

Cerita yang paling kocak (plus menjijikan) adalah cerita tentang betapa joroknya orang-orang di Cina Daratan, plus cerita tentang Poo Pants Man. Satu lagi yang lucu adalah cerita tentang kendala bahasa di Cina.

Gak hanya bertabur cerita jalan-jalan ke luar negeri, Trinity juga mengajak kita untuk jalan-jalan di Indonesia, dan pengen membuat kita sadar, kalo di Indonesia juga banyak tuh tempat-tempat yang bagus. Jangan demi gengsi atau ‘naik status’ di Facebook atau Twitter, kita terus-terusan milih tempat berlibur ke luar negeri. Dan yang pasti, jangan males browsing atau cari info.

Yuk.. jalan-jalan….

Friday, February 03, 2012

Rumah Cokelat


Rumah Cokelat
Sitta Karina @ 2011
Penerbit Buah Hati, Cet. I – Desember 2011
226 Hal.
(punya-nya @DamayantiMaya)


Hannah dan Wigra, pasangan bekerja yang selalu merasa ‘kehabisan’ waktu untuk anak-anaknya. Cape’ macet di jalanan Jakarta, cape’ dengan tuntutan kerjaan yang gak abis-abis, sampe di rumah nyaris gak ada energi lagi untuk main dengan anak, belum lagi urusan menabung untuk uang sekolah yang ‘selangit’, kurangnya ‘me time’, urusan dengan orang tua yang ‘merasa’ lebih tau akhirnya kebablasan dalam ngurusin cucunya.

Demi memuaskan Razsya, Hannah kerap membelikannya mainan, seolah sebagai pengganti ketiadaannya di sisi Razsya. Tapi, tetap saja itu tidak sama. Keberadaan fisik Hannah sebagai ibu yang dibutuhkan, bukan pengganti dalam bentuk apa pun.

Belum lagi.. masalah si ‘mbak’. Razsya, anaknya, jadi lebih deket ke si Upik daripada Hannah. Hannah jadi merasa tersingkirkan. Racauan Razsya saat tidur membuat Hannah tersadar.

"Aku gak ingin Razsya mengenal kita hanya sebagai orang yang ngasih makan dan ngebeliin mainan aja." (Hal. 41)

Hannah orangya rada emosional. Menghadapi anaknya yang dari manis bisa berubah jadi tantrum, Hannah bisa jadi gak sabaran. Untung ada Wigra yang jadi penyeimbang.

Tokoh Wigra, dari beberapa tweet yang gue baca, tampaknya jadi pria idaman. Ganteng dan sabar. Udah gitu, gak gampang tergoda sama perempuan lain. Dia begitu melindungi Hannah. Tapi, gue merasa kemunculan Banyu dan Ara yang bertujuan untuk jadi orang ketiga rada dipaksain. Tapi ya, oke lah, menunjukkan bahwa mereka adalah pasangan yang kuat, setia dan gak mudah tergoda, meskipun di tengah-tengah ‘badai’ dan ada orang lain yang mungkin menawarkan ‘kesenangan sesaat’.

Well.. sounds familiar… merasa lagi ‘ngaca’ baca buku ini. Ma’af nih.. kalo lagi-lagi, review ini terkesan ‘personal’ alias cur-col. Pernah ada saat, Mika pengen sama mbak-nya aja. Waktu dia nangis, gue peluk tapi dia bilang, “Mika mau sama mbak.” Huhuhu… serasa pengen ikutan nangis.

Atau, drama di pagi hari, saat Mika ‘ngadat’, gak ngebolehin gue berangkat kerja. Kadang pake nangis, kadang bilang, “Mama kerjanya nanti aja.. temenin Mika dulu.” Duh, kalo gak inget yang namanya ‘kebutuhan’ a.ka. masih butuh uang lebih, gue rasanya pengen nurutin Mika.

Belum lagi, entah kenapa, kalo gue ada di rumah, Mika jadi lebih manja dan ada-ada aja tingkahnya. Yang susah makan, yang susah mandi. Padahal nih, kalo gue lagi gak di rumah, katanya sih, anteng-anteng aja.

Dilema pasangan bekerja, digambarkan dengan baik oleh Sitta Karina. Sitta Karina yang selama ini dikenal sebagai penulis cerita remaja, kali ini mencoba menggali tema yang berbeda. Tema yang dekat banget dengan keseharian pasangan muda. Pasangan yang mencoba untuk sempurna membina rumah tangga baru mereka, tapi, frustasi di tengah jalan karena gak semulus yang mereka impikan (atau gue impikan). Kadang pengen jadi ibu rumah tangga, tapi keadaan masih belum ‘mengizinkan’. Beruntung kaya’ Hannah yang punya keahlian lain, sehingga dia bisa memilih untuk kerja di rumah. Gimana kalo kaya’ gue yang gak punya ‘bakat’ lain, selain jadi pekerja kantoran?

Satu hal yang perlu banget diinget… saat sama anak, tinggalkan tuh yang namanya gadget. Stop twiterring, facebooking, atau apa pun. Tinggalkan juga tabloid gossip, baca majalah. Temenin dia main, konsentrasi sama si kecil. Meskipun kadang main sama si kecil suka rada ajaib, tapi, harus. Toh, waktu kita gak banyak. Dua hari libur aja kita bisa full sama mereka, itu masih kurang banget. Gue akui sih, kadang gue pun, suka malas-malasan nemenin Mika main. Pengen nyelesain novel yang lagi gue baca, pengen tidur-tiduran. Tapi… kadang Mika bilang, “Mama temenin Mika main di sini.” Gue bukan mau ngajarin… ihh.. siapa sih gue, baru 4 tahun juga jadi ibu. Tapi, membaca buku ini, gue merasa ‘ditampar’, ‘dipentung’ dan disodorin kaca. Di buku yang simple ini, gue banyak belajar.

Bagian favorit gue adalah Playground di Malam Hari. Ini bagian yang paling ‘menyentuh’ buat gue.

"Jagain Ibu ya, Nak, hormati perempuan.. Menyakiti mereka sama dengan menyakiti Ibu." (Hal. 171)

Pesen Sitta Karina di salah satu tweet-nya: Kisah di #RumahCokelat adl sepenggal kehidupan berkeluarga. Jd takut menikah? Takut punya anak? Jangan! :-D
 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang