Wednesday, November 30, 2011

Sarah’s Key

Sarah’s Key
Tatiana de Rosnay @2006
Lily Endang Joeliani (Terj.)
Elex Media Komputindo - 2011
339 Hal.
(Gramedia Plaza Semanggi)

Berlatar belakang sebuah sejarah. Tanggal 16 Juli 1942, penangkapan besar-besaran warga keturunan Yahudi oleh tentara Perancis. Sejumlah 1.129 lelaki, 2.916 perempuan, dan 4.115 anak-anak akhirnya berhasil tertangakap. Mereka dibawa kesebuah tempat bernama Velodroma d’Hiver. Di sana, mereka diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Tak ada makanan, minuman dan sarana sanitasi yang memadai. Tak dipedulikan juga orang yang sakit, perempuan hamil atau orang tua. Banyak akhirnya yang meninggal di sana. Tempat itu adalah tempat penampungan sementara sebelum mereka dibawa ke Auschwitz. Kenapa jumlah laki-laki lebih sedikit dibanding perempuan dan anak-anak? Karena selama ini yang ‘diangkut’ hanya laki-laki, sementara perempuan dan anak-anak bisa dibilang aman. Makanya, banyak kaum laki-laki yang bersembunyi di tempat persembunyian di bawah tanah

Sebelum terjadinya penangkapan itu, orang-orang Yahudi diharuskan memakai tanda bintang kuning di baju mereka. Sekejap hidup mereka berubah. Berbagai larangan dikenakan untuk mereka. Orang dewasa bungkam, dan anak-anak tak mengerti dengan perubahan ini. Tiba-tiba saja semua orang memandang mereka dengan tatapan menghina, tiba-tiba mereka kehilangan teman-teman dan dijauhi.


Kisah di dalam buku ini di mulai pada malam naas itu. Tanggal 16 Juli 1942, menjadi awal saat-saat terburuk dalam hidup seorang gadis bernama Sarah. Keluarga Starzi

Keluarga Starzynski dijemput oleh tentara Perancis dan kemudian dibawa ke Velodroma d’Hiver. Mengira akan segera kembali, Sarah meminta adiknya Michel untuk bersembunyi di dalam lemari, tempat bermain rahasia mereka. Sarah berjanji akan segera menjemput Michel. Sarah menyimpan kunci lemari itu dengan sangat hati-hati.

Keadaan semakin buruk, karena para lelaki dipisahkan dari istri dan anak mereka. Bahkan akhirnya, para ibu juga harus dipisahkan dengan anak-anak mereka. Sarah tak mau pasrah saja berada dalam kamp yang mengerikan itu. Ia cemas akan keadaan adiknya. Ada salah satu anak di dalam kamp itu yang berniat untuk melarikan diri dan meskipun sulit, akhirnya mereka berdua berhasil lolos. Beruntung masih ada orang-orang Perancis yang berbaik hati mau membantu mereka. Dan dengan segala resiko mau menampung dan membantu Sarah untuk kembali ke rumahnya.

Enam puluh tahun kemudian, seorang wartawati asal Amerika bernama Julia ditugaskan untuk membuat liputan tentang peristiwa penangkapan besar-besaran itu – yang kini dikenal dengan nama Vel d’Hiv. Tak mudah mencari informasi tentang hal itu, karena memang hal itu secara tidak langsung tidak diakui oleh warga Perancis. Banyak yang melupakan peristiwa itu, meskipun pada akhirnya Presiden Jacques Chirac pada tahun 1995 mengakui keterlibatan tentara Perancis dalam penangkapan tersebut.


Saat pencarian data, secara kebetulan Julia menemukan bahwa keluarga Tézac – keluarga suaminya – terhubung dengan Sarah. Julia pun semakin giat mencari data-data dan mulai melibatkan emosi dan perasaannya. Tak peduli bahwa suaminya, Bertrand Tézac tidak setuju dengan rencana itu.

Tindakan Julia menimbulkan pro dan kontra di dalam keluarga Tézac. Julia sendiri selama ini memang tidak terlalu dekat dengan keluarga Tézac. Beruntung ayah mertuanya mau mendukungnya dan membantu Julia menelusuri jejak masa lalu Sarah.

Konflik lain dalam buku ini, adalah tentang kemelut rumah tangga Julia dan Bertrand. Bertrand yang tidak setia, ditambah krisis paruh baya yang membuat Bertrand meminta Julia menggugurkan kandungannya.

Membaca novel ini, ada rasa ngilu dan sedih banget. Gue rela begadang demi nyelesain novel ini, bab-babnya yang pendek, lalu berpindah-pindah antara tahun 1942 dan 2002 membuat jadi speed membaca juga jadi meningkat. Sambil baca di sebelah Mika tidur, yahhh.. gue pun jadi mellow… Bolak-balik gue liat Mika, terus gue pegang tangannya, ciumin pipinya. Sambil ‘mewek-mewek’ dikit.. Hihihi… Isi cerita novel ini sanggup menguras air mata. Membayangkan betapa sedihnya berpisah dengan orang-orang yang dicintai.

Gue sih lebih tertarik baca bagian Sarah, dibanding Julia. Julia menurut gue agak egois, meskipun endingnya dia bikin ayah mertuanya lega. Gue lebih mengerti sikap Sarah yang menjadi lebih keras karakternya. Peristiwa pahit yang dialami mengubah seorang gadis cilik yang ceria menjadi gadis yang tampak lebih dewasa daripada umurnya.

Karakter Julia, seorang yang punya keinginan keras. Saat ia tahu ada hubungan antara apartemen yang akan segera ditinggalinya dengan berita yang akan ditulis, ia menggali lebih jauh. Meskipun resikonya berhadapan dengan keluarga besar sang suami. Ditambah lagi, dalam keadaan hamil muda, emosi Julia sebagai seorang ibu membuatnya merasa harus mencari lebih jauh tentang Sarah.

Ending cerita memang agak klise, tapi gak mengurangi keindahan novel ini. Hmmm coba Julia meng-interview tentara-tentara Perancis yang mungkin masih hidup… pengen tau apa sih yang mereka pikirin waktu ngeliat anak-anak kecil itu.

Buku yang berlatar tragedi Holocaust atau masa-masa pendudukan Nazi sendiri, udah beberapa yang gue baca seperti The Boy in the Striped Pyjamas, Suite Française, The Guernsey Literary and Potato Peel Pie Society, Five Quarters of the Orange, dan Hana’s Suitcase. Dan selalu bikin hati jadi gak enak dan bikin sesak. Membayangkan orang-orang yang masuk ke kamar gas itu… *sigh* Gue jadi merinding…

Rasanya ini review terpanjang gue. Entah mungkin karena banyak emosi yang ikut saat gue membaca buku ini, jadinya pengen semua di'curhatin' di sini. Dan ngeliat covernya, gue membayangkan itu adalah Michel yang 'menjemput' Sarah, terus mereka kembali seperti dulu, ke masa kecil yang bahagia. Saat mereka taunya cuma main, gak tau yang namanya perang itu apa, gak tau apa bedanya jadi orang Yahudi sama orang-orang lainnya.

Novel Sarah’s Key juga udah difilmkan


4,5/5 bintang untuk Sarah.

Thursday, November 24, 2011

Birthday Stories

Birthday Stories
Selected and Introduced by Haruki Murakami @ 2002
Vintage Books -2006
207 Hal.
(hasil dari bookmooch - 2007)

Ulang tahun, masih gak sih jadi hari yang special untuk yang udah berumur ‘banyak’? Masih gak sih berharap dapet surprise, kado, tiup lilin dan stuff like we used to get when we were a child? Kalo sekarang, setelah gede begini, gue pribadi paling-paling hanya ‘merayakan’ ulang tahun bareng keluarga gue, plus beberapa teman-teman dekat gue. Rame-ramenya paling hanya bawa makanan kecil ke kantor.

Dan, tiap tahun, maunya nih, setiap ulang tahun, waktunya introspeksi… waktunya merenung, seperti kaya’ malem tahun baru. Tapi, yang ada satu hari itu terlewat seperti hari-hari lainnya. Seperti biasa aja.

Saat Haruki Murakami membaca cerita tentang hari ulang tahun, ia berpikir, “Ah, pasti banyak yang menulis cerita-cerita seperti ini.” Dan ia pun mempunyai ide untuk membuat kumpulan cerita tentang Hari Ulang Tahun. Ternyata… jarang ada penulis yang menulis tentang hal ini.

13 cerita pendek dalam buku ini akhirnya berhasil dikumpulkan. Hanya satu memang yang ditulis oleh Haruk Murakami sendiri. Hmmm.. gak semuanya mudah untuk dicerna, tapi ada beberapa yang menarik dan unik. Jangan bayangkan cerita yang berhubungan dengan hari ulang tahun selalu berwarna, ceria dan riang gembira. Justru, tapi ada yang bernuansa gelap dan ada rasa kecewa.

Misalnya, Timothy’s Birthday – cerita tentang orang tua yang sudah mempersiapkan makan besar untuk merayakan ulang tahun anak mereka, tapi justru si anak sendiri menolak untuk datang ke rumah orang tuanya. Atau, Angel of Mercy, Angel of Wrath – cerita tentang perempuan tua yang ulang tahunnya dilupakan oleh anaknya sendiri karena kesibukannya sebagai seorang dokter.

Atau, mau yang ‘tragis’, The Bath – kegembiraan menjelang perayaan ulang tahun, justru harus berakhir di rumah sakit, karena anak yang berulang tahun mengalami kecelekaan dan koma. The Birthday Cake – mengisahkan tentang ‘keegoisan’ seorang perempuan tua yang menolak memberi kue kepada seorang perempuan yang anaknya berulang tahun, hanya karena sudah menjadi ‘kebiasaannya’ membeli kue itu setiap hari.

Cerita lainnya yang menarik, selain tentunya Birthday Girl tulisan Murakami sendiri, adalah The Birthday Present – hadiah ‘ajaib’ seorang istri di hari ulang tahun suaminya. Dan, Forever Overhead – ini nih, membuat gue serasa ‘membeku’, diam di tempat. Cerita ini, tentang pesta ulang tahun anak laki-laki, dan yang diceritain dalam cerpen ini adalah sepanjang ‘perjalanannya’ menuju mmm… mungkin semacam papan seluncur yang tinggi banget seperti yang suka ada di amusement park atau water park. Tentang suasana party-nya, tentang orang-orang di sekitarnya. Gue membayangkan, dalam gerakan yang lambat, seorang anak laki-laki berjalan di tengah keriuhan pesta kolam, tapi gak ada suara apa-apa, selain suara si narasi cerita ini. Kehebohan hanya tampak dalam gambar, dan… endingnya… byurrrr….

Favorit gue adalah Birthday Girl dan The Birthday Cake. Yang lainnya… kalo gak gue sebutin di sini – hehehe.. berarti gue gak ‘nyambung’ dengan ceritanya.

Pesimis waktu membuka halaman pertama, apalagi, biasanya gue paling males baca buku yang udah terlalu lama ‘mengendon’ di lemari buku gue, makin ke belakang, saat gue menemukan cerita yang menarik, gue makin penasaran dengan cerpen-cerpen selanjutnya.

Monday, November 21, 2011

The Translator

The Translator (Sang Penerjemah)
Leila Aboulela @ 1999
Rahmani Astuti (Terj.)
GPU – Oktober 2011
227 Hal.
(Trimedia – Mal Ambasador - 2011)

Sammar, perempuan berkebangsaan Sudan yang mencari nafkah di Skotlandia, tepatnya di kota Aberdeen. Kesepian, sendiri di kota yang dingin dan muram ini. Suami Sammar, Tarig, meninggal dalam sebuah kecelakaan dan Amir, anak Sammar satu-satunya, tinggal dengan keluarga Tarig di Khartoum.

Sammar bekerja di sebuah universitas sebagai penerjemah dokumen-dokumen berbahasa Arab. Seorang professor bernama Rae, seorang peniliti Islam, kerap meminta bantuan Sammar.

Hubungan professional ini lama-lama berubah menjadi hubungan persahabatan. Sammar merasa nyaman berbicara dengan Rae, yang juga seorang duda dengan satu anak perempuan.

Dan, makin lama, hubungan ini menimbulkan perasaan lain yang lebih dari sahabat. Tapi, sayang, perbedaan keyakinan menjadi penghalang hubungan ini. Sammar mencoba mengajak Rae untuk memeluk agama Islam, tapi tampaknya Rae belum yakin untuk melangkah ke arah yang lebih jauh. Sammar sebagai seorang Muslim, merasa lebih baik ia menjauhkan diri dari Rae, daripada ‘terjerumus’ ke dalam sebuah perbuatan dosa.

Sammar kembali ke Khourtoum. Kembali menemui Amir dan tinggal bersama keluarga mendiang suaminya. Ia mencoba melupakan Rae dan mimpi-mimpinya. Bahkan ia melepaskan pekerjaannya di Aberdeen, sebuah tindakan yang dianggap bodoh oleh adik Sammar. Tampaknya, kehidupan di luar negeri dianggap sebuah hal yang mewah, sebagai sebuah suatu keberhasilan.

Bahasa dalam novel ini, begitu tenang dan menghanyutkan. Tapi buat gue ini jadi ‘jebakan batman’, saking terhanyutnya, ada kalanya gue jadi ‘ngantuk’. Makanya, rada lama gue menyelesaikan novel yang gak terlalu tebal ini. Temponya lambat. Sesuai karakter-karakter dalam buku ini yang tenang. Gak ada pembicaraan yang meledak-ledak.

Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, saat Sammar di Aberdeen, kala musim dingin. Suasana begitu muram, semuram hati Sammar. Tapi, bagian kedua, waktu Sammar udah di Khartoum, suasana jadi lebih terasa hangat. Adanya tokoh-tokoh lain, meskipun bukan tokoh utama, seperti Amir, keponakan Sammar, adik ipar Sammar, menambah ‘kehangatan’ di dalam cerita. Seolah ada variasi lain dalam hidup Sammar sendiri. Gue pun jadi lebih semangat waktu sampai di bagian kedua ini.

Tampaknya, meskipun gak terlalu ‘puas’ dengan buku Leila Aboulela pertama yang gue baca ini, gue masih pengen membaca buku-bukunya yang lain. Satu lagi, gue suka sama cover edisi Indonesia ini, warna birunya sesuai sama isi ceritanya :)

Tuesday, November 15, 2011

9 Summers 10 Autumns

9 Summers 10 Autumns
(Dari Kota Apel ke The Big Apple)
Iwan Setyawan @ 2011
GPU – Cet. IV, Mei 2011
221 Hal.
(Swap with @myfloya)

Iwan Setyawan, seorang anak dari sebuah desa yang terletak di Batu, Malang, tepatnya di kaki Gunung Panderman. Ia adalah anak seorang supir angkot. Iwan punya dua kakak perempuan dan dua adik perempuan. Kehidupan mereka sangatlah sederhana, kalau gak mau dibilang susah ya. Menjadi anak laki-laki satu-satunya, membuat ia harus mengalah, tak pernah punya kamar tidur sendiri, karena kamar tidur yang ada diperuntukan untuk orang tua dan saudara-saudara perempuannya.

Mereka tak pernah merasakan yang namanya bermain boneka, main sepeda. Kemewahan mereka mungkin hanyalah sebuah televisi yang kerap ‘mengundang’ tetangga mereka untuk menumpang nonton di rumah mereka.

Namun demikian, keluarga sederhana ini adalah keluarga ‘pejuang’. Dengan berbagai daya upaya, orang tua mereka berhasil menyambung hidup dan membiayai pendidikan anak-anak mereka. Dan Iwan bersaudara pun, tak segan-segan untuk mencari kerja kecil-kecilan demi membantu orang tua mereka. Kesederhanaan yang mengajarkan mereka untuk bekerja keras.

Iwan pun berhasil diterima di IPB jurusan Statisik. Dari sinilah, awal mula kesuksesan seorang Iwan Setyawan. Lulus dari IPB, ia bekerja di AC Nielsen, perusahaan yang memberinya kesempatan untuk bekerja di luar negeri, tepatnya di New York City.

Bertahan selama 10 tahun, tapi, kerinduan akan kampung halamannya, terutama kehangatan berada di antara keluarga tercinta, membuat Iwan memilih berhenti dan pulang kembali ke Batu.

Novel ini disajikan dengan bahasa yang puitis dan indah. Iwan seolah bercerita kepada sosok bocah kecil berbaju putih-merah yang misterius. Penggemar Dostoevsky, yang kutipannya menghias beberapa halaman di buku ini.

"... I told my self, I will not let this happen again. I want to make her a happy mother, a very happy mother. I want to do something for my family. I love them so much."
-- hal. 210

Tampaknya bukan sebuah tema yang baru mengangkat kehidupan nyata menjadi sebuah novel. Sebut saja Laskar Pelangi (meskipun ini belum baca sih) atau Negeri 5 Menara. Seorang anak ‘kampung’ yang bersusah payah dari kecil, akhirnya mendulang sukses kala dewasa hingga keluar negeri.

Tapi, tetap saja, buku-buku seperti ini masih menarik untuk dibaca karena bentuk penyampaian yang jauh dari kesan membosankan, berlebihan atau sekedar ingin pamer ‘kesuksesan’.

Yang juga menarik perhatian, adalah cover-nya yang bersih dan simple. Berlatar warna putih, dengan dua buah apel merah yang bersanding.

Thursday, November 10, 2011

Serasa di Surga...


Mungkin sebagian besar akan berkata surga buku adalah tempat yang nyaman, tenang. Tempat kita berada di antara buku-buku kesayangan kita. Tempat di mana kita bisa ‘melebur’ dalam buku yang kita baca. Atau, bisa juga ‘keadaan’, bukan hanya tempat. Tapi saat di mana (di mana saja, dan kapan saja), kita merasa ‘terlempar’ dari dunia nyata, masuk ke dalam sebuah dunia imajinasi yang sangat luas dan punya berbagai macam cerita yang mungkin tidak pernah kita bayangkan ada dalam dunia nyata.

Kalau aku boleh menggambarkan surga bukuku itu seperti apa, ini dia dongengku tentang surga buku.

Tempat itu adalah tempat tersembunyi. Hanya orang-orang yang mencintai buku dan mengerti arti imajinasi yang tahu di mana tempat itu. Tepatnya, di atas sebuah pohon, berbentuk rumah kayu (ya… ya… ini salah satu keinginan masa kecil yang gak tercapai… pengen punya rumah kayu di atas pohon).

Mari kita lihat di dalamnya ada apa… Meskipun rumah kayu, tapi jangan takut akan runtuh. Karena rumah ini mampu menampung beban seberat apa pun. Jadi jangan heran, kalau di dalamnya, ada banyak begitu banyak buku di dalam rak-rak yang tersedia. Semua buku favoritku, ada di sini. Atau, teman-teman cari buku favorit kalian sendiri? Coba cari di pelosok-pelosok rumah ini, pasti ada. Karena di sini, segala macam jenis buku ada (hmmm termasuk buku-buku aneh seperti di Bagian Terlarang Perpustakaan Hogwarts). Luasnya sebesar apa? Seluas-luasnya… namanya juga di surga, gak ada batasan dalam sebuah ukuran.

Lalu, ada sebuah sudut yang nyaman, beralas karpet lembut. Ada bantal-bantal empuk untuk yang pengen baca sambil bersila di lantai. Ada sofa yang tak kalah empuknya juga. Mau duduk di kursi goyang? Ada juga… Ada meja kecil berisi kue-kue dan minuman ringan, untuk sekedar menemani biar gak kelaperan kalo lagi baca. Kan lagi berkhayal, jadi kadang lupa waktu… tau-tau… perut keroncongan deh…

Pernah dengar lagu di film kartun Cinderella?

“in my own little corner
in my own little chair
I can be whatever
I want to be….”

Nah, saat mulai membaca… bersiaplah terjun bebas dalam tokoh-tokoh yang ada. Gak suka sama tokohnya… silahkan ngomel-ngomel… atau mungkin si tokoh ganteng… ow… silahkan termehek-mehek dan jatuh cinta dengan dia.

Atau…. Mau curhat? Curhat sama siapa? Ya, sama salah satu tokoh yang kamu baca… Hmmm.. misalnya, pengen curhat sama Papa Smurf? Boleh… atau mau nangis karena kangen sama Harry Potter, Hermione atau Ron? Atau bahkan kangen sama Bartimeus, si Jin tengil itu? Gak masalah…

Atau ikut bersusah payah sama Aragorn dan si ganteng Legolas nyari Frodo?

Atau… merinding dan ikut tegang bersama Katnis di Hunger Games? Atau malah pengen jadi Katnis, yang di tengah-tengah Hunger Games malah bingung mikirin lebih ok Peeta atau Gale ya?

Atau bahkan pengen jadi Bella Swan? Hehehe.. biar bisa bikin ending cerita sendiri… Kali-kali dalam khayalan kamu, Bella Swan malah pengen jadi werewolf perempuan, bukannya vampire perempuan.

Atau, pengen ikutan jalan-jalan sama Agustinus Wibowo ke pelosok-pelosok yang sama sekali berbeda dengan buku traveling lainnya? Atau berenang sama ikan hiu bareng Trinity?

Silahkan… bebas… sebebas-bebasnya…

Gak boleh ada yang sirik, gak boleh ada yang nyela. Kalo nyela… kamu akan terlempar dari surga buku *HA..HA..HA… ketawa ala jin*

===

Udah ah, mengkhayalnya… tapi gitu deh, tempat yang aku bayangkan saat aku berpikir tentang surga buku.

Lelah berkutat dengan dunia nyata, tenggelam dalam buku-bukuku membuat aku sejenak melupakan semua keresahan, me-recharge energi dan pikiran yang terkuras. Melemaskan semua ketegangan.

Novel romantis membuat aku rindu dengan kisah cinta yang dramatis
Novel fantasi suka bikin aku pengen ada di dunia mereka.
Novel horor, thriller terkadang membuat jantung ikut berdetak lebih kencang
Novel klasik, kadang.. mmmm... *ma'af* bikin aku ngantuk...

Aku gak menyesal dengan buku yang aku pilih… meskipun itu buku yang ternyata gak sesuai dengan ekspektasiku…

Tapi yang pasti.. membaca membuat aku merasa di surga…

*tulisan ini dibuat sebagai hadiah ulang tahun untuk Surgabuku*
*happy birthday, surgabuku… semoga selalu menjadi surga untuk para pencinta buku*
*pssttt… paket B boleh juga tuh, me
l… *

When God was a Rabbit

When God was a Rabbit
Sarah Winman @ 2011
Rini Nurul Badariah (Terj.)
Penerbit Bentang – Cet. I, Agustus 2011
398 Hal.
(Trimedia – Mal Ambasador)

Judulnya ‘nakal’ dan menarik perhatian. Tapi jangan berpikir ini bakal mengarah ke sebuah novel spiritual atau yang berbau-bau religi. Judul ini dan beberapa hasil review membuat gue pun tertarik untuk membaca When God was a Rabbit ini.

Dan jangan salah lagi berpikir kalau ini sebuah novel bergenre romance. Cover-nya memang manis. Berwarna kuning, ditambah dengan siluet seorang perempuan dan laki-laki, ada payung dan sepeda. Cukup romantis kan?

When God was a Rabbit bisa dibilang mengisahkan perjalanan hidup seorang gadis bernama Elly. Bersetting di London. Terbagi dalam dua bagian – bagian pertama ketika Elly masih seorang gadis kecil menjelang remaja berusia belasan tahun dan bagian kedua, ketika Elly berusia 27 tahun.

Ia hidup dalam keluarga yang unik. Ayahnya, seorang pengacara yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Ia punya kakak laki-laki yang selalu melindunginya bernama Joe. Joe lah yang menyimpan rahasia Elly selama bertahun-tahun.

Elly bisa dibilang tak punya teman dekat. Hingga pada suatu hari datanglah seorang gadis bernama Jenny Penny. Jenny Penny pun menjadi sahabat Elly. Ia yang membela saat Elly dibilang ‘sesat’ karena memberi nama ‘God’ untuk seekor kelinci.

Tokoh-tokoh lain yang gak kalah unik adalah Arthur, seorang laki-laki tua yang awalnya tinggal sementara di Bed & Breakfast milik orang tua Elly, tapi akhirnya malah jadi seperti keluarga yang menetap permanen bersama keluarga Elly, lalu ada Ginger – perempuan nyentrik lainnya, tak ketinggalan Nancy, adik ayah Elly yang seorang artis. Lalu, Charlie, teman dekat Joe.

Mungkin awalnya memang agak ‘ribet’ baca buku ini. Mencari polanya, mencoba memahami apa yang ingin disampaikan penulis. Banyak banget permasalahan di dalam buku ini, mulai dari kakak laki-laki yang seorang gay, tante yang lesbian, ibu yang kena kanker, pelecehan seksual, pembunuhan, penculikan sampai peristiwa 11 September. Tak hanya Elly dan Joe yang menyimpan rasa duka, tapi juga ayah Elly, yang menyimpan rasa bersalah dalam hati selam bertahun-tahun.

Campur aduk… sedih, gembira, tawa, pahit, manis… membacanya ada rasa ‘getir’. Gimana sih, rasanya… mau coba tersenyum, tapi ada terselip rasa sakit. Ada saat gembira ketika sahabat lama datang kembali, dan ketika harus kehilangan karena orang terdekat yang lainnya malah pergi.

Buku ini bercerita tentang hubungan antara adik perempuan dan kakak laki-laki. Tentang persahabatan yang sempat terputus.

Tuesday, November 08, 2011

Thing Your Mother Never Told You

Thing Your Mother Never Told You
Olivia Lichtenstein @2009
Orion Books – 2009
312 hal.
(pinjam dari mia)

Ketika seseorang sudah tiada, ada saja hal-hal yang baru diketahui kemudian. Begitulah yang dialami Ros. Ia menemukan banyak rahasia yang tak sempat disampaikan ibunya, Lilian ketika ia masih hidup.

Buku ini bercerita tentang Ros, yang sedang mengalami gonjang-ganjing dalam pernikahannya. Pernikahan yang sudah berjalan selama 20 tahun diambang perceraian, karena Ros tidak tahan dengan suaminya yang punya masalah dengan pengendalian emosi.

Suatu hari, ia menemukan sebuah selebaran yang berisi iklan seorang cenayang. Keinginan untuk ‘bertemu’ dengan Lilian, membuat Ros menelpon Clare Voyante – yang ternyata sudah tahu kalau Ros akan menghubunginya.

Lilian dibesarkan di Afrika Selatan. Ia tidak setuju dengan adanya perbedaan perlakuan antara orang kulit putih dan orang kulit hitam. Semasa kuliah dan setelah lulus, Lilian terlibat dalam suatu organisasi yang membela hak-hak orang kulit hitam. Bahkan Lilian sempat terlibat hubungan asmara dengan Sipho, salah satu aktivis yang berkulit hitam. Mereka menjalani hubungan ini secara sembunyi-sembunyi.

Selama ini Ros hanya mengetahui sedikit tentang kehidupan masa lalu Lilian. Tapi, suatu hari ia menerima kiriman paket berisi tulisan Lilian yang akan dibukukan. Dari sinilah, Ros banyak mendapat kejutan.

Sementara itu, kehidupan sehari-hari Ros dipenuhi dengan hal-hal baru berkaitan dengan ‘status’ yang yang sebentar lagi akan berubah. Ros nekat men-tato kakinya, sampai-sampai ia diprotes karena memberi contoh yang kurang baik bagi anak didiknya. Lalu, memberanikan diri untuk mendaftar kencan online.

Gue sih lebih tertarik baca tentang kehidupan Lilian di Afrika Selatan, kaya’nya lebih banyak misteri dan dramanya. Karakter Lilian, ibu yang kaya’nya normal, tapi punya kebiasaan-kebiasaan unik. Yang lucunya, kalo tiba-tiba dia seolah ‘bicara’ sama Ros dari alam lain. Sementara tentang Ros rasanya udah sering gue baca di buku-buku lain, jadi gak terlalu 'mencuri perhatian'.

Thursday, November 03, 2011

Rumah Tangga yang Bahagia

Rumah Tangga yang Bahagia
Leo Tolstoy
Dodong Djiwapradja (Terj.)
Pustaka Jaya, Cet. II – Desember 2008
168 Hal.
(for #savepustakajaya)

Cintaku cinta untuk seumur hidup, karena itu janganlah mengambil sesuatu yang kupandang berharga dalam hidup ini (-- hal. 106)

Masha, Katya dan Sonya, hidup dalam rasa duka setelah ibu mereka meninggal. Kesepian dan kesunyian, itulah yang mereka rasakan. Musim dingin jadi terasa semakin beku dengan kesedihan mereka. Kerabat yang datang mengunjungi mereka, bukannya memberi penghiburan tapi malah semakin membuat suasana jadi muram. Tokoh utama dalam novel ini adalah Masha. Gadis berusia 17 tahun.

Satu-satunya orang yang ditunggu dan bisa membuat suasana lebih ceria adalah Sergei Mikhailich. Ia adalah sahabat ayah mereka, teman terdekat bagi Masha, Katya dan Sonya. Sergei-lah yang mengurus harta benda peninggalan orang tua mereka. Kedekatan ini membuat Masha mempunyai perasaan lain. Tidak hanya sayang seperti layaknya seorang adik pada kakak, tapi timbul rasa cinta yang lebih mendalam. Tapi, usia mereka terpaut cukup jauh. Hingga rasanya tak mungkin bagi Masha untuk mewujudkan angan-angannya. Dan ternyata, Sergei juga merasakan hal yang sama. Ia pun jatuh cinta pada Masha. Kendala usia membuat Sergei juga tak berani mengungkapkan perasaannya pada Masha.

Masha jadi kesal, ‘gregetan’, karena sikap Sergei yang terkadang penuh perhatian, tapi kadang menjauh. Sampai akhirnya justru Masha yang memberanikan diri membuka perasaannya. Tapi, bagi Sergei takut. Menurutnya, di usia remaja itu, Masha harusnya bersenang-senang, masih maunya ‘bermain-main’.

Memang sih, akhirnya mereka menikah (spoiler bukan ya?) Pasangan pengantin baru itu tinggal bersama ibu Sergei yang orangnya ‘apik’ banget. Semua serba teratur dan rapi. Lama-lama, Masha jenuh. Rumah tangganya mulai terasa hambar. Maka untuk membuat Masha senang, Sergei mengajak Masha berlibur ke St. Petersburg.

Di St. Peterburg inilah Masha kenal dengan ‘dunia lain’. Selama ini ia tinggal di desa, sekarang bertemu dengan orang-orang kota yang kaya, diundang ke pesta sana-sini dan mendapatkan banyak pujian karena kecantikannya, Masha ‘terbuai’, sementara Sergei malah memilih menarik diri dari pergaulan itu.

Nah, di sinilah mulai kelihatan perbedaan mereka karena usia yang terpau sangat jauh itu. Masha merasa Sergei menjauh dan berubah. Sementara Sergei sendiri terkesan cuek. Saat Masha merasa telah berkorban, Sergei malah bertanya tentang apa maksud pengorbanan itu.

Jadi, berhasilkan mereka mewujudkan rumah tangga bahagia yang mereka impikan? Berhasilkah mereka menjembatani perbedaan di antara mereka? Sebenarnya ,apa sih arti berkorban itu ya? Kalau salah satu sebenernya gak rela, apa gak malah jadinya bikin sebel dan tersiksa?

Kisah cinta memang selalu jadi ide yang menarik untuk bikin cerita. Tapi, membuat sesuatu yang berbeda biar ‘keliatan’ itu susah. Di sinilah uniknya cerita ini. Kisah cinta antara dua pasangan yang usianya jauh berbeda.

Buku klasik memang bukan ‘makanan’ gue. Terjemahannya sedikit membuat gue pusing dengan bahasa yang sangat baku (dan ada kata-kata yang baru pertama kali gue baca), tapi, ternyata, kalimat-kalimatnya mampu membuat gue bertahan membaca buku ini hingga tuntas. Puitis dan indah.

Hari itu berakhirlah petualangan cintaku dengan suamiku, cintaku yang lama tetap merupakan kenang-kenangan yang indah dan tak ‘kan kembali ….

… dan kehidupan ini tak pernah berakhir sampai hari ini.

-- hal. 166

Tuesday, November 01, 2011

Queen of Dreams

Queen of Dreams (Ratu Mimpi)
Chitra Banerjee Divakaruni @ 2004
Gita Yuliani (Terj.)
GPU – Agustus 2011
400 hal.
(Gramedia Pondok Indah Mall)

Penafsir mimpi… itulah ‘profesi’ ibu Rakhi. Profesi yang penuh rahasia. Ia bukan seorang peramal, tapi ia bisa merasakan apa yang dibawa oleh bunga tidur. Rakhi tak pernah mengerti kenapa ibunya tidur terpisah dari ayahnya. Kenapa ibunya tidur di lantai, bukan di tempat tidur seperti dirinya? Rakhi kecil juga ingin bisa menafsirkan mimpi seperti ibunya, tapi, tidak sembarang keturunan bisa mendapatkan ‘anugerah’ itu.

Rakhi, seorang seniman dan orang tua tunggal. Sebagai keturunan India yang bermukin di California, ia berjuang menata kehidupannya setelah perceraiannya dengan Sonny. Ia mengelola Chai House – sebuah café – bersama temannya, Bella. Tapi, persaingan dengan franchise café lain, membuat Chai House nyaris gulung tikar. Pelanggan Chai House ternyata lebih memilih Java Café yang lebih ‘megah’ dibanding kesederhanaan dan keakraban yang ditawarkan Chai House.

Di malam pameran perdana Rakhi di sebuah galeri, justru ia menerima berita duka. Ibunya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan, meninggalkan rahasia. Setelah ibu Rakhi meninggal, pelan-pelan, Rakhi berusaha mengurai rahasia itu.

Hubungan Rakhi dan ayahnya memang tidak bisa dibilang harmonis. Ayah Rakhi gemar mabuk-mabukkan. Ibu Rakhi-lah yang selalu berusahan jadi penyeimbang di antara mereka. Tapi, dalam hati, Rakhi kerap menyalahkan ayahnya atas semua kondisi ini.

Sebuah surat-surat berbahasa Bengali peninggalan ibu Rakhi menjadi sebuah sarana untuk mengenal siapa ibu Rakhi sebenarnya. Ayah Rakhi membantu menerjemahkan surat-surat itu.

Sementara itu, Chai House berganti nama dan ‘format’, menjadi Kurma House, yang menyajikan camilan khas India yang ternyata menarik perhatian banyak orang. Ayah Rakhi lah yang menjadi chef di Kurma House.

Lambat laun, bukan hanya rahasia tentang ibu Rakhi yang terungkap, tapi Rakhi pun semakin mengenal ayahnya. Ia tahu bagiamana orang tuanya bertemu, dari mana ayah Rakhi mendapatkan keahlian memasak. Bukan hanya itu, kegemaran ayah Rakhi yang suka menyanyi lagu-lagu India-lah yang juga menarik minat orang mengunjungi Kurma House.

Tapi, saat peristiwa 11 September, semua orang jadi saling mencurigai. Rakhi dan sesama keturunan India lainnya, tak luput dari ancaman orang-orang Amerika yang mendadak jadi patriotik. Rakhi bertanya-tanya, ia yang selama ini merasa sebagai orang Amerika, tapi di saat itu tak seorang pun yang percaya akan ‘ke-amerika-annya’.

Pertama: gue suka sebel sama Rakhi. Keras kepala, maunya didengerin, maunya bener. Apalagi kalo udah ketemu sama Sonny – mantan suaminya itu. Padahal apa yang dibilang Sonny ada benernya, tapi gara-gara gengsi dan egois, Rakhi lebih memilih berbantahan dan bertengkar.

Kedua: tokoh ayah Rakhi yang dibalik kebiasaan buruknya itu, ternyata juga tertekan. Tapi, tetap mencintai istrinya. Saat gue baca bagian Kurma House yang mulai ramai itu, kaya’nya gue bisa membayangkan sibuknya Kurma House, penuh dengan pemusik-pemusik tradisional yang mampir. Suka cita, kemeriahan Kurma House ikut terasa. Belum lagi, camilan khas India yang masih panas mengepul. Hmmm…

Ketiga: buku ini mengingatkan gue sama Mistress of Spices – eksotis dan misterius. Sama-sama tentang sebuah ‘profesi’ yang misterius. Sama-sama menempuh pendidikan di sebuah tempat tersembunyi, punya tetua dan pantangan. Kalau melanggar, artinya harus keluar dan kehilangan ‘keahliannya’ pelan-pelan.

Tapi, tetap… gue selalu terhanyut sama tulisan Chitra Banerjee Divakaruni. Selalu ada yang ‘misterius’ di balik cerita-ceritanya.
 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang