Saturday, July 30, 2011

Cocktail for Three

Cocktail for Three (Klub Koktail)
Sophie Kinsella as Madeleine Wickham
Nurkinanti Laraskusuma (Terj.)
GPU – Juni 2011
440 hal.

Roxanne, Maggie dan Candice, 3 sahabat yang bekerja di sebuah media di London. Tanggal 1 setiap bulannya mereka bertemu di sebuah bar, bernama Manhattan Bar. Yah, untuk sekedar refreshing. Meskipun bekerja di kantor yang sama, tidak berarti tiap hari mereka bertemu.

Roxanne, adalah penulis lepas. Gadis yang penuh percaya diri dan memiliki menjalin hubungan dengan pria yang sudah berkeluarga. Tapi, tak satu pun dari sahabatnya itu tahu siapa pria itu. Ia hanya sesekali datang ke kantor. Tugasnya jalan-jalan ke luar negeri, meliput tempat-tempat penginapan baru. Maggie, si pemimpin redaksi, satu-satunya yang sudah menikah, ambisius dan sedang stress menghadapi peran baru sebagai ibu. Candice, penulis, yang sangat lugu, baik hati dan jujur. Mudah dimanfaatkan orang karena kebaikan hatinya.

Semua berjalan dengan lancer, dan.. asyik-asyik aja gitu. Tapi, ketika di satu pertemuan rutin mereka, pertemuan terakhir sebelum Maggie cuti melahirkan, ada salah satu pramusaji yang membuat Candice tertarik, yang ternyata adalah teman sekolahnya dulu, namanya Heather.

Pertemuan itu membuka luka lama Candice, rasa bersalah terhadap keluarga Heather. Maka, si peri baik hati ini berniat untuk membalas apa yang sudah terjadi, mencoba menghapus kesalahan masa lalu yang disebabkan ayah Candice. Ia membantu Heather mendapatkan pekerjaan di Londoner dan mengajaknya tinggal bersama. Baik Roxanne dan Maggie menyayangkan sikap Candice yang terlau baik.

Lain lagi Roxanne, ia masih harus berurusan dengan pacar gelapnya yang tiba-tiba saja berubah. Lalu Maggie yang sempat mengalami baby blues.

Meskipun sama-sama berkisah tentang perempuan-perempuan di London, usia 30 tahunan ke atas, tapi karakternya beda dengan novel yang memakai nama Sophie Kinsella. Seperti Becky Bloomwood, Tokoh-tokohnya terkesan ‘konyol’. Ceritanya juga lebih ceria.

Kalo di buku ini, tokohnya lebih dewasa, permasalahan juga lebih serius. Yahhh.. ending-nya sih ketebak. Tapi, gak mengurangi rasa tertarik gue sama buku ini.

Mungkin karena gue ‘kecewa’ dengan seri terakhir Shopaholic, gue jadi lebih suka buku ini dan rasa-rasanya jadi pengen baca buku Sophie Kinsella as Madeleine Wickham yang lain. Kadang, abis baca yang ‘berat’, enak juga baca buku-buku kaya’ begini.

Friday, July 29, 2011

The Day of the Jackal

The Day of the Jackal
Frederick Forsyth @ 1971
Ranina B. Kunto (Terj.)
Penerbit Serambi – Cet. 1, Juni 2011
609 hal.

Sekelompok orang yang tergabung dalam OAS (Organisation L’Armée Secréte) ‘memutuskan’ bahwa Presiden Perancis, Charles de Gaulle, harus mati. Mereka beranggapan de Gaulle sudah berkhianat dan melenceng dari apa yang sudah diperjuangkan oleh para veteran.

Beberapa usaha pembunuhan gagal, para perencana, penggagas dan pelaksana pembunuhan itu sudah dieksekusi. Pentolan-pentolan yang masih berkeliaran beberapa ditangkap. Itu semua membuat orang-orang di OAS berhati-hati dan memilih bersembunyi disbanding berkeliaran di jalan-jalan di Perancis atau di kota mana pun.

Tapi, masih ada beberapa orang yang tetap ingin de Gaulle mati. Orang yang fanatik, seperti Rodin. Selama ini, anggota OAS sudah gagal membunuh de Gaulle, ada kebocoran di dalam organisasi mereka. Entah karena ada pengkhianat atau OAS sudah disusupi oleh mata-mata pemerintah. Oleh karena itu, ia berpikir, misi ini akan berhasil jika mereka merekrut orang luar – bukan warga negara Perancis dan bekerja secara professional alias seorang pembunuh bayaran.

Akhirnya terpilihlah seorang warga negara Inggris, dengan track record yang minim. Tapi catatan yang minim inilah yang dicari, sehingga jejaknya tak mudah tercium. Nama sandi-nya Jakal. Dengan bayaran yang menggiurkan, akhirnya tercapailah kesepakatan. Sang Jakal diberi kebebasan untuk memutuskan kapan waktu eksekusi yang tepat dan dengan cara apa.

Jakal pun memulai rangkaian operasinya. Ia bekerja sendiri, mempersiapkan semuanya dengan rinci dan teliti. Mulai dari pemesanan senjata, pembuatan identitas palsu, mencari tempat dan saat yang tepat untuk pelaksanaan pembunuhan itu.

Ia bebas berkeliaran dengan identitas palsu tanpa tercium oleh pihak kepolisian. Sampai akhirnya, pihak kepolisian mulai curiga karena ada 3 orang pentolan OAS yang bersembunyi di sebuah hotel di Roma tanpa melakukan apapun. Dengan tipu daya, akhirnya mereka berhasil menangkap dan memperoleh informasi dari bodyguard yang selalu menjaga Rodin bernama Kowalski. Kowalski ini berbadan besar, tidak banyak omong, tapi ternyata punya hati yang ‘lembut’. Dari sinilah operasi yang dilakukan Jakal mulai tercium dan membuat pihak kepolisian kalang kabut. Sementar de Gaulle sendiri enggan membesar-besarkan berita kalau keselamatannya tengah terancam.

Ditugaskanlah seorang detektif bernama Lebel untuk menyelidiki dan menangkap Jakal. Tapi dengan minimnya informasi, tekanan yang bertubi-tubi dari para atasan, penyelidikan ini berjalan dengan sangat lamban. Ditambah lagi, tampaknya pergerakan Jakal selalu selangkah lebih maju. Jakal selalu bergerak lebih cepat tepat ketika Lebel berhasil memperoleh informasi tentang keberadaan Jakal. Sebuah ‘kecerobohan’ yang disebabkan oleh pihak dalam yang dekat dengan presiden dan tak ingin dikalahkan oleh seorang detektif.

Cukup lama buat gue untuk mendapatkan ‘klik’ atau ‘feel’ dengan novel ini. Memang, harus gue akui, novel ini keren. Semua ditulis dengan begitu detail dan sistematis. Gak heran sih, kalo ternyata novel ini jadi ‘inspirasi’ atau ‘manual book’ beberapa orang untuk melakukan tindak kejahatan, seperti pembunuhan atau pemalsuan passport

Bukan novel yang membuat adrenalin gue terpacu untuk baca terus dan terus. Menjelang akhir bagian pertama, baru gue mulai bisa pelan-pelan menikmati isi novel ini. Bagian-bagian yang gue suka adalah bagiannya si Jakal. Setiap dia lagi mempersiapkan segala sesuatunya, bekerja sendiri. Misterius. Gue jadi terbayang sama Daniel Craig – si James Bond.

Eksekusi akhir novel ini berlangsung cepat. Berbeda detail yang begitu panjang di bagian awalnya. Mulai deh keliatan seperti ‘adegan’ film. Detektif yang bolak-balik kalah cepet dengan si penjahat.

Salah satu yang membuat gue betah adalah pemilihan kertas dan font-nya yang ‘bersahabat’ dengan mata. Tapi, kenapa banyak bahasa Perancis yang gak diterjemahin? Dan gue sempat berpikir, kenapa juga Jackal itu harus diterjemahin jadi Jakal, kenapa gak tetap dengan tulisan aslinya?

Wednesday, July 27, 2011

The Thief

The Thief (Sang Pencuri dari Eddis)
Megan Whalen Turner @ 1996
Zaky Yamani (Terj.)
GPU – Juni 2011
360 hal.

Gen, dipenjara karena kebodohannya sendiri. Ia membual bias mencuri apa saja, tapi malah memamerkan hasil curiannya di sebuah kedai anggur.

Suatu hari, penasihat Raja Sounis, sang Magus datang membebaskannya. Bukan tanpa maksud akhirnya Gen dibebaskan. Sang Magus punya misi khusus untuk mau merepotkan diri melakukan hal itu.

Sang Magus meminta Gen untuk mencuri sebuah batu. Batu ini bukan sembarang batu, tapi jika Raja Sounis bisa memiliki batu ini, maka hal ini bisa dijadikan ‘alasan’ untuk menikahi Ratu Eddis dan menyatukan kedua wilayah.

Maka, Gen pun berangkat bersama sang Magus dan rombongan yang terdiri dari 2 orang murid sang Magus dan satu orang pengawal. Perjalanan terbilang lancar. Tak ada hambatan yang berarti kecuali makanan yang harus dihemat, jalan yang terjal dan berbatu. Hambatan sesungguhnya baru terjadi saat Gen harus masuk ke dalam gua tempat batu itu ada.

Terus terang gue rada gak sabar baca buku ini. Membosankan. Karakter Gen juga ‘nyebelin’ banget. Anak muda yang manja, sok cakep, bawel dan kadang sok tahu. Tokoh lain juga gak ada yang – menurut gue – ‘kuat’ karakternya. Padahal dari cover-nya, seolah Gen itu tokoh yang gagah, pemberani dan pantang menyerah. Terlalu ‘macho’ untuk jadi gambaran tokoh seperti Gen.

Jalan cerita juga cenderung datar, saat ada pertempuran pun juga gak membuat jadi tegang. Kaya’nya terlalu bertele-tele. Buku yang gak terlalu tebel ini, mungkin bisa jadi lebih tipis lagi. (duh.. gue jadi sok bisa nulis aja)

Yang menarik justru catatan dari penulis, tentang latar belakang penulisannya dari mana dia mengambil ide cerita, dan daftar buku-buku yang berpengaruh dalam prosesnya jadi penulis. Hmmm.. bisa jadi contekan…

Buku ini ada sekuel-nya, tapi rasanya gue gak tertarik untuk tahu lanjutannya.

Tuesday, July 26, 2011

One Amazing Thing

One Amazing Thing
Chitra Banerjee Divakaruni @ 2009
Sujatrini Liza (Terj.)
Qanita – Cet. 1, Juni 2011
422 hal.

Kantor permohonan visa ke India terasa begitu membosankan. Petugas yang acuh tak acuh, cuek dengan para pemohon yang antri. Salah satu di antara pemohon visa itu adalah Uma. Meskipun ia orang India, tapi belum pernah sekali pun ia menginjakkan kaki di tanah airnya itu. Tujuannya ke India, adalah untuk berkunjung, bertemu dengan orang tuanya yang menghabiskan masa pensiun di kampung halamannya. Sejak pagi, ia sudah tiba di sana. Semua tampak tenang, sibuk dengan pikiran masing-masing, mengusir kebosanan dengan caranya sendiri.

Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh. Gempa bumi. Sembilan orang terjebak di dalam kantor itu. Cameron, salah satunya, sebagai mantan prajurit, ia cepat tanggap dengan situasi yang genting. Meskipun sikapnya ini tidak disukai oleh Thariq, pemuda berjenggot keturunan Pakistan, yang memandang sinis orang-orang Amerika, sebagai balasan atas sikap orang Amerika sendiri terhadap kaum Muslim.

Dengan sigap, Cameron memeriksa kerusakan yang terjadi, membantu orang-orang yang cedera, memeriksa cadangan air dan membagi makanan dengan sama rata. Di tengah kegelapan dan bahaya karena sewaktu-waktu langit-langit bisa runtuh.

Untuk mengusir rasa takut, sepi dan ketidakpastian, Uma mengusulkan agar mereka saling berbagi satu kisah yang sangat berarti dalam hidup mereka. Awalnya usul ini ditolak, khawatir akan membuang oksigen dengan sia-sia.

Tapi, Nenek Jiang memberanikan diri untuk menjadi yang pertama menuturkan ceritanya. Dan sambil berharap-harap cemas akan bantuan yang tak kunjung datang, persediaan makanan dan air yang menipis, akhirnya, semua pun bercerita satu kisah yang membuat hidup mereka berubah dan membawa mereka ada dii kantor permohonan visa.

Semua kisah memang ‘menakjubkan’ dan punya arti sendiri-sendiri bagi si penutur, yang pada akhirnya memberi pengaruh pada orang-orang di sekitar yang baru dikenal saat terjadi bencana itu.

Kisah favorit gue, adalah ceritanya Malathi, perempuan petugas di kantor permohonan visa itu. Salon pink yang digambarkan dalam bayangan gue jadi benar-benar genit dan wangi. Penuh dengan gosip para pelanggan dan pekerja salon yang tekun tapi diam-diam ikut menguping.

Chitra Banerjee Divakaruni adalah salah satu penulis favorit gue sejak pertama baca The Mistress of Spices, dan entah kenapa, gue lebih bisa menikmati tulisan-tulisan penulis dari India, ketimbang penulis-penulis Jepang. Rasanya tulisan mereka lebih ‘dekat’ dengan kehidupan sehari-hari, lebih nyata.

Wednesday, July 20, 2011

Kafka on Shore

Kafka on Shore
Haruki Murakami @ 2005
Vintage Books - 2005
489 hal.

Beberapa orang yang gue ‘temui’ dari hasil blogwalking, yang membaca karya-karya Haruki Murakami bilang, “He’s a jenius.” Karya-karyanya ‘mengagumkan’. Wah… tampaknya seorang penulis yang karyanya ‘wajib’ dibaca.

Kafka on Shore, rasanya (lagi-lagi) udah ada lama banget di lemari buku gue, tapi, sekian lama juga hanya jadi pemanis di sana. Entah kenapa, baru-baru ini, begitu membaca halaman pertama, gue tergerak untuk melanjutkan ke halaman-halaman berikutnya. Buku pertama Haruki Murakami yang gue baca adalah Norwegian Wood, tapi dengan sukses, gak gue selesaikan karena gak nyambung buat gue.

Ada dua kisah di dalam buku ini. Sejalan, tapi ada di tempat yang berbeda.

Pertama, tentang seorang anak laki-laki bernama Kafka Tamura. Tepat ketika ia berulang tahun ke 15, ia memutuskan untuk pergi dari rumah. Tujuannya mencari ibu dan kakak perempuannya yang pergi ketika ia masih kecil. Hubungan Kafka dengan ayahnya, Koichi Tamura, tidaklah harmonis. Malah, sang ayah mengutuk Kafka, bahwa suatu hari ia akan membunuh ayahnya dan meniduri ibu serta kakak perempuannya sendiri. Hmmm.. kutukan yang mengerikan.

Setelah mengambil uang dari laci meja kerja ayahnya dan sebuah pisau lipat, mengemasi pakaian dan kebutuhan lainnya, Kafka pun pergi. Tak ada tujuan pasti, Kafka sempat bertemu dengan seorang gadis bernama Sakura, yang membantunya ketika Kafka tiba-tiba terbangun di sebuah taman dengan baju berlumuran darah, yang ia sendiri tidak tahu darah siapa itu.

Sampai akhirnya Kafka sampai di sebuah perpustakaan pribadi, Komura Library. Ia pun berkenalan dengan asisten di perpustakaan itu bernama Oshima. Oshima ini lah yang pada akhirnya banyak membantu Kafka, seperti memberi tempat tinggal dan pekerjaan.

Di Komura Library ini pulalah, Kafka bertemu dengan Miss Saeki, pemilik perpustakaan ini. Dan menjalin hubungan singkat dengan Miss Saeki. Perbedaan usia tidak menghalangi hubungan mereka itu.

Tokoh utama yang kedua, adalah Nakata. Di era Perang Dunia II, Nakata terkena penyakit ‘aneh’. Saat berjalan-jalan di hutan dengan rombongan sekolah, tiba-tiba saja semua murid pingsan, tanpa diketahui penyebabnya. Tapi, sebagian besar murid-murid itu sembuh, kecuali Nakata. Kejadian itu mengakibatkan hilangnya kemampuan Nakata dalam membaca dan menulis, tapi ia punya keahlian lain, yaitu berbicara dengan kucing. Ia hidup dari subsidi pemerintah dan hasil dari membawa pulang kucing-kucing yang hilang.

Nakata juga melakukan perjalanan jauh setelah ia membunuh seorang pria yang ia yakini bernama Johnie Walker. Ditemani seorang pengemudi truk bernama Hoshino, yang dengan senang hati meladeni apa pun yang dikatakan Nakata.

Di saat yang sama, ayah Kafka juga ditemukan tewas terbunuh. Sementara, saat bersama Sakura, Kafka berkesimpulan Sakura adalah kakak perempuannya, dan ketika bersama Miss Saeki, ia pun berasumsi Miss Saeki adalah sosok ibunya. Dan akhirnya, kutukan itu pun benar adanya.

Awalnya gue masih sanggup mengikuti cerita ini, makin ke belakang gue makin puyeng… Buku ini penuh dengan khayalan para tokoh, dan penuh dengan cerita ‘dewasa’. Banyak hal yang aneh di dalam buku ini, tentang Kafka yang punya ‘teman khayalan bernama Crow’ – anyway, Kafka sendiri berarti Crow, lalu, seorang Johnie Walker yang membunuh kucing demi mendapatkan umur yang lebih panjang (yakssss…), hujan ikan, dan berbagai keanehan lainnya. Kafka on Shore adalah sebuah gubahan lagu, dan juga sebuah lukisan seorang bocah kecil di pantai. Bahkan di sini pun Kafka mengambil kesimpulan bocah itu adalah dirinya, karena memang hanya satu foto yang tersisa, yaitu ketika ia dan kakaknya sedang bermain di pantai.

Well, Haruki Murakami memang jenius. Membuat cerita antara nyata, tapi koq gak nyata. Tapi, ma’af kalo gue bingung membaca cerita ini. Gue gak jenius. Gue kadang gak sanggup membaca cerita yang rumit, apalagi ‘menangkap’ pesannya. Akhir membaca buku ini, gue berpedapata kalau buku ini menggambarkan dunia yang ‘campur aduk’, antara kenyataan, mimpi, khayalan, takdir. Tentang usaha seorang manusia melarikan diri dari sesuatu, tapi ternyata tak berhasil.

Another Haruki Murakami? Mmm… nanti dulu deh… hehehe…

Tuesday, July 12, 2011

Weedflower

Weedflower (Bunga Liar)
Cynthia Kadohata @ 2005
Lanny Murtihardjana (Terj.)
GPU – Oktober 2008
272 hal.

Menjadi orang asing di suatu tempat tidaklah mudah. Apalagi berada di negara yang sedang berkonflik dengan negara asalnya. Sumiko, si gadis Jepang, selalu merasa tersisih di Amerika. Kala itu, Jepang dan Amerika berada di pihaknya yang berseberangan dalam Perang Dunia II. Di sekolah, ia tidak punya teman. Kegembiraan karena pertama kali menerima undangan ulang tahun dari teman sekelasnya yang orang Amerika, harus berakhir dengan rasa kecewa dan marah karena ia hanya ‘diperkenankan’ masuk sampai ruang tamu dan diusir secara halus oleh nyonya rumah.

Sumiko tinggal bersama dengan keluarga Pamannya, mengelola kebun bunga potong. Orang tua Sumiko meninggal dalam sebuah kecelakaan. Sumiko punya adik bernama Tak-Tak. Kakek Sumiko lah yang datang ke Amerika untuk mengadu nasib. Semuanya tampak baik-baik saja – di luar dipandang aneh oleh hakujin atau orang kulit putih. Sampai kemudian, Jepang menjatuhkan bom di Pearl Harbor, menimbulkan kemarahan dan kecurigaan dari warga Amerika.

Setiap saat, ada ketakutan bahwa mereka akan ditangkap. Dan memang benar, pada akhirnya, kakek dan paman Sumiko ditahan. Sementara keluarga yang tersisa harus meninggalkan rumah mereka dan pindah ke kamp pengungsian.

Beruntung di kamp pengungsian, mereka tidak disiksa atau melakukan kerja paksa. Mereka hidup seperti biasa, hanya tempatnya yang kurang nyaman. Tempat penampungan terakhir ini berbatasan dengan daerah reservasi suku Indian. Seorang anak yang ditemui Sumiko jelas-jelas menunjukkan sikap bermusuhan pada awalnya. Karena dianggap warga Jepang itu mengambil lahan mereka, tapi malah mendapat fasilitas yang lebih nyaman. Sumiko sendiri juga berusaha membuat dirinya senyaman mungkin di tempat penampungan, seperti membuka lahan untuk menanam bunga, bermain dengan adiknya dan beberapa teman baru, bahkan akhirnya menjalin persahabatan dengan anak suku Indian.

Pada akhirnya, Sumiko terombang-ambing, antara ingin tetap penetap di tempat penampungan itu atau keluar dari sana dan memulia hidup baru. Masalahnya tak ada jaminan apakah di luar sana akan lebih baik daripada di tempat penampungan. Sementara peperangan masih terus berlanjut.

Gue membaca beberapa buku yang berlatar belakang perang dunia, tapi biasanya selalu membuat gue ngeri. Kebanyakan sih tentang kamp pengungsian Jerman yang mengerikan di mana para tahanan berakhir di kamar gas. Tapi ini berbeda, entah karena dilihat dari sudut pandang anak-anak, semua tampak ‘baik-baik’ saja meskipun ada kesedihan.

Monday, July 04, 2011

Theodore Boone: The Abduction

Theodore Boone: The Abduction (Theodore Boone: Penculikan)
John Grisham @ 2010
Monica Dwi Chresnayani (Terj.)
GPU – Juni 2011
232 hal.

Theodore Boone atau Theo kembali disibukkan dengan sebuah peristiwa hukum yang kali ini melibatkan sahabatnya sendiri. Di buku sebelumnya, sudah diceritakan bahwa Theo bersahabat dengan April Finnmore. April ini sedang mempunyai masalah dalam keluarganya. Kedua orangtuanya dalam proses perceraian. Ayahnya jarang di rumah, lebih sibuk dengan band-nya yang tak terkenal itu, ibunya juga sering menggunakan obat-obat terlarang. April anak yang tertutup, meskipun April dan Theo kerap bercerita, tapi tetap ada rahasia yang disimpan April.

Dan pada suatu hari, di tengah malam, keluarga Boone dikagetkan dengan berita bahwa April menghilang, diduga diculik oleh orang yang ia kenal. Theo pun khawatir dengan keselamatan sahabatnya itu. Ada petunjuk bahwa April sering berkirim surat dengan sepupu jauhnya, seorang tahanan bernama Jack Lepper. Jack Leppert ini diketahui kabur dari penjara. Tuduhan utama pun tertuju pada Jack Lepper.

Theo tentu saja gak betah hanya berdiam diri menunggu hasil kerja polisi yang menurutnya lamban. Ia mengerahkan teman-temannya, membentuk regu pencarian April. Mereka berpencar mencari April dan menempelkan selebaran foto April di penjuru kota tempat mereka tinggal.

Upaya ini tak juga membuahkan hasil. Namun berkat kecanggihan teknologi, kepintaran Theo, akhirnya ia berhasil mendapatkan sebuah titik terang tentang kemungkinan di mana April berada. Lagi-lagi, Theo harus menghindar dari orang tuanya yang protective dan meminta bantuan Ike Boone, pamannya yang juga mantan pengacara itu.

Di buku ini, gue lebih bisa merasakan emosinya Theodore Boone, mungkin karena kasusnya menimpa orang yang dekat dengan dia. Theo yang jadi gak bisa konsenstrasi, susah makan dan tidur, dan terus berpikir mencari cara untuk menemukan April.

Tapi menurut gue, cerita tentang Theo yang jadi ‘pengacara’ yang berurusan dengan Pengadilan Hewan, rasanya gak perlu diulang lagi di buku kedua ini. Karena kesannya hanya sebagai ‘sisipan’. Kenapa gak diceritain Theo yang berusaha ‘memecahkan’ kasus yang lebih ‘menantang’ sedikit.

Friday, July 01, 2011

Theodore Boone: Kid Lawyer

Theodore Boone: Kid Lawyer (Theodore Boone: Pengacara Cilik)
John Grisham @ 2010
Monica Dwi Chresnayani (Terj.)
GPU – September 2010
272 hal.

Sebagai anak pengacara, Theodore Boone atau akrab dipanggil Theo, tahu banyak tentang seluk-beluk pengadilan. Ayahnya, Wood Boone, seorang pengacara real estate, sedangkan ibunya, Marcella Boone, adalah pengacara perceraian. Theo sering main-main ke gedung pengadilan, kenal dengan hakim, jaksa dan pekerja lain di pengadilan itu. Pengetahuannya tentang dunia hukum juga tidak main-main. Ia kerap diminta bantuan oleh teman-temannya untuk memberi ‘nasihat hukum’.

Di kota kecil tempat tinggal Theo, ada kasus yang menghebohkan yang menarik minat para penduduk. Kasus pembunuhan seorang wanita yang tertuduhnya adalah suaminya sendiri. Kasus Duffy tentu saja tidak luput dari minat Theo. Di sidang perdana, Theo dan teman-temannya memperoleh kesempatan untuk studi lapangan Kelas Pemerintahan. Berkat hubungan akrab dengan hakim, mereka bisa mengikuti sidang perdana itu. Dan, dengan akses rahasia, Theo bisa mengikuti sidang melalui notebook-nya secara real time.

Dalam kasus ini, Pete Duffy didakwa bersalah, namun tak ada bukti-bukti yang cukup, sehingga hampir dipastikan Pete Duffy akan bebas. Tapi, ternyata, ada seorang saksi. Ia melihat ada orang yang masuk ke rumah itu. Sayangnya, saksi ini tak mau keberadaannya diketahui, karena ia adalah seorang imigran, dan pekerja illegal. Jika sampai polisi tahu, maka ia akan dideportasi dan dikirim kembali ke negara asalnya.

Theo pun terlibat. Ia menyimpan terlalu banyak rahasia. Dan ia sudah berjanji untuk tidak membocorkan identitas si saksi kepada siapa pun. Tapi, seandainya ia terus menyimpan rahasia ini, kebenaran tak akan terungkap dan pembunuh berdarah dingin itu akan berkeliaran dengan bebas.

Meskipun tidak setegang dan seseru novel John Grisham yang lain, novel Theodore Boone ini tetap enak untuk diikuti. Tetap ada bagian-bagian yang bikin penasaran, seperti tokoh Omar Cheepe yang misterius, yang tidak berkata-kata, tapi kehadirannya membuat Theo tidak nyaman.

Untuk tokoh Theo sendiri, rasanya adalah anak yang tahu ‘terlalu banyak’ dan untungnya bukan anak sok tahu. Dia juga gak pelit membantu teman-temannya, ikut kegiatan sosial dan sedang dalam masa ‘cinta monyet’. Minatnya hanya di Kelas Pemerintahan. Cita-citanya sudah pasti berkisar di dunia hukum. Punya paman yang juga mantan pengacara kelas atas. Untuk novel Theodore Boone ini sendiri, tingkat ‘ketegangan’ gak terlalu tinggi. Segmen pembaca lebih ke remaja.

Setelah gue liat-liat, ternyata koleksi buku John Grisham gue lumayan lengkap. Novel-novel John Grisham termasuk yang selalu gue ‘buru’ di awal-awal gue mulai mengkoleksi novel yang ‘gedean’ dikit. Udah lama juga sih gue gak baca novelnya, baru sekarang gue baca lagi. Dan ternyata, gue masih tetap suka.

Segera lanjut ke sekuel Theodore Boone…

 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang