Monday, February 28, 2011

Habibie & Ainun

Habibie & Ainun
Bacharuddin Jusuf Habibie @ 2010
THC Mandiri – 2010
323 Hal.

48 tahun 10 hari, waktu yang sangat panjang dalam sebuah pernikahan. Hal yang sangat sulit, ketika harus kehilangan pasangan yang mendampingi kita dalam kurun waktu yang sangat lama. Bukan gue sok tau, ya, tapi, putus sama pacar aja, kadang butuh waktu lama untuk recovery perasaan.

Buku ini mengisahkan perjalanan hidup pasangan BJ Habibie dan Ibu Ainun Habibie. Tapi, jangan bayangkan ini sebuah kisah cinta yang romantis. BJ Habibie yang baru pulang dari Jerman, ‘terpesona’ dengan Ibu Ainun, yang padahal dulunya seperti gula jawa (alias item kali ya…), tapi sudah ‘menjelma’ menjadi gadis yang cantik dan anggun.

Percintaan mereka berlangsung kilat. Dalam liburan Pak Habibie yang singkat, mereka bertunangan dan menikah. Untuk selanjutnya, Ibu Ainun diboyong ke Jerman. Di Jerman sendiri, kehidupan mereka belum stabil, kondisi perekenomian mereka masih sangat sederhana. Meskipun pelan-pelan akhirnya mulai meningkat.

Sebagai putra bangsa yang sangat berbakti, atas permintaan Presiden Soeharto, Pak Habibie dan keluarga kembali ke Indonesia. Mencoba merintis cita-cita untuk mempersembahkan hadiah ulang tahun ke 50 untuk Indonesia yaitu sebuah pesawat terbang pertama hasil karya putra-putri Indonesia.

Selama Habibie bertugas, Ibu Ainun selalu setia mendampingi. Dengan senyum dan matanya yang meneduhkan, senantiasa membuat Pak Habibie semangat dalam bertugas.

Mungkin gak banyak yang diceritakan di sini, bagaimana pasang-surut dalam kehidupan rumah tangga mereka. Memang sih, di awal diceritain gimana waktu mereka baru menikah, tapi setelah itu, selebihnya lebih banyak bercerita tentang kiprah BJ Habibie hingga akhirnya beliau menjadi Menristek, kemudian Wapres sampai akhirnya jadi Presiden. Terasa begitu ‘pribadi’ karena Pak Habibie juga bercerita apa yang beliau rasakan. Bahkan ketegasan beliau ketika berhadapan dengan Presiden Soeharto sekali pun.

Di beberapa bab terakhir, baru kembali diceritakan bagaimana ketika Ibu Ainun mulai sakit dan harus dirawat di Jerman karena kondisi cuaca khatulistiwa tidak cocok untuk kesehatan beliau. Dan, BJ Habibie terus mendampingi ibu Ainun hingga tempat peristirahatan terakhir - sebagaiman ibu Ainun mendampingi BJ Habibie dalam tugasnya.

Bagian-bagian akhir memang bagian yang paling menyentuh, di mana justru rasa cinta di antara mereka lebih terlihat dan begitu mendalam. Alur penuturan yang lamban (dan mungkin kalo dipikir-pikir, gak ada hubungannya sama ‘kisah cinta’ mereka berdua), tapi toh, tetap saja, buku ini memberi inspirasi.

Membaca buku ini, rasanya gak ada tuh yang namanya ‘gonjang-ganjing’ dalam pernikahan. Yang ada justru sebuah rumah tangga yang seimbang, saling menghormati dan sama-sama menikmati peran mereka masing-masing dalam rumah tangga. Betapa Pak Habibie yang dalam kesibukannya selalu diingatkan oleh istrinya, dan betapa Pak Habibie begitu menghargai dan mencintai Ibu Ainun.

Ahhh.. such a beautiful love story…

Thursday, February 24, 2011

The Memory Keeper's Daughter

The Memory Keeper's Daughter
Kim Edwards @ 2005
Penguin Books
513 pages

Di malam yang bersalju, ketika orang lain sedang menghangatkan diri di rumah, David Henry harus membawa istrinya ke rumah sakit karena waktu persalinan datang lebih cepat. Dokter yang membantu persalinan terjebak badai salju, sehingga David, yang seorang dokter bedah tulang, yang akhirnya menangani persalinan Norah.

Di awal persalinan berjalan dengan lancar, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Paul. Tapi, selang beberapa detik, Norah mengalami kontraksi lagi. Dalam keadaan yang sudah lemah, akhirnya Norah dibius, setelah melahirkan bayi perempuan. Ternyata, Norah selama ini mengandung anak kembar. Maklum, masih tahun 1960an, jadi mungkin belum ada tuh teknologi USG. Berbeda dengan saudara kembarnya, Paul, bayi perempuan yang diberi nama Phoebe ini langsung terlihat ‘berbeda’. Phoebe ternyata memiliki Down Syndrome. Seketika itu juga, David langsung memutuskan untuk memberikan Phoebe ke Caroline Gill, perawat yang membantu persalinan Norah, dan meminta Caroline untuk membawa Phoebe ke sebuah tempat perawatan. Sementara, kemudian, David memberi tahu Norah, bahwa ia melahirkan bayi kembar, tapi sayangnya, bayi itu meninggal ketika dilahirkan.

Yang tidak diketahui David sesudahnya, adalah Caroline memutuskan untuk merawat dan membesarkan Phoebe, segera setelah ia melihat betapa tidak layaknya tempat perawatan itu. Caroline pindah ke kota lain, menjalani hidup bersama Phoebe. Berjuang agar Phoebe diberi kesempatan layaknya anak-anak normal lainnya.

Sementara itu, kehidupan keluarga David Henry sendiri berubah. Masing-masing anggota keluarga seolah hidup dalam dunia lain. David tenggelam dalam rasa bersalahnya, dan Norah hidup dalam kesedihan atas kematian anak perempuannya. Dan Paul akhirnya mendapati ibunya berselingkuh dan ayahnya semakin menjauh dari diri mereka, terkadang sedikit memaksakan masa depan Paul. Dari luar, mereka tampak seperti keluarga bahagia.

Keputusan David untuk menjauhkan Phoebe didasari atas pengalaman pribadinya, saat ia memiliki seorang kakak yang memiliki kelainan jantung dan akhirnya meninggal dalam usia muda. Ibunya tidak pernah lepas dari masa berkabung yang berkepanjangan.

Buku ini gue beli tahun 2007 (!) dan baru akhirnya tuntas gue baca sekarang. Ada bagusnya juga jarang beli buku, ‘memaksa’ gue untuk membongkar lemari buku dan mencari buku yang belum gue baca.

Ok, kembali ke bukunya sendiri. Membaca buku ini, serasa menonton sebuah film drama keluarga. Cerita yang terpapar secara kontinyu, sejak Paul dan Phoebe masih bayi sampai akhirnya mereka dewasa dan tentang kegelisahan yang berbeda yang dirasakan David, Norah dan Caroline melihat anak-anak mereka tumbuh dewasa. Belum lagi tentang pergulatan batin mereka melawan rasa bersalah dalam diri mereka sendiri. Banyak rahasia yang disimpan, yang ingin diungkapkan, tapi takut bakal menyakiti yang lain. Harus sedikit bersabar membaca buku ini kalau memang gak terlalu suka yang berbau-bau drama.
Ow, ternyata buku ini udah ada film-nya juga.

Friday, February 11, 2011

Room

Room
Emma Donoghue @ 2010
Back Bay Books, 2011
321 pages

Jack, anak laki-laki yang baru saja berulang tahun yang ke lima. Layaknya anak-anak, imajinasi dan kreativitasnya sangat tinggi. Tapi sayang, ruang untuknya bereksplorasi sangat terbatas. Dunianya hanya sebatas sebuah kamar kecil, tempat ia tinggal bersama Ma – ibunya. Ia tidak pernah keluar dari Kamar itu. Semua aktivitas dilakukannya di dalam Kamar itu bersama Ma. Di malam hari ia harus tidur di dalam lemari, Ma tidak ingin ‘Old Nick’ melihat Jack. Di dalam Kamar itu, Jack bermain sepanjang hari, menonton tv, makan, membaca. Meskipun dikurung dalam Kamar, Jack termasuk anak yang cerdas. Bagi Jack, dunianya hanyalah Kamar itu. Apa yang ada di televisi dan di luar Kamar tidaklah nyata.

Tapi, Ma sering tidak mampu lagi menjawab banyak pertanyaan Jack. Menurut Ma, sudah waktunya mereka keluar dari dunia mereka yang sempit itu. Ma sendiri sudah 7 tahun terkurung di dalam Kamar. Dan dengan ‘kebaikan’ Old Nick, mereka bisa memperoleh berbagai kebutuhan untuk hidup sehari-hari. Hampir setiap malam Old Nick datang, dan setiap minggu, Old Nick akan menerima daftar kebutuhan mereka yang harus mereka pilih dengan cermat.

Ketika Ma dan Jack berhasil keluar dari Kamar, Jack pun terkaget-kaget dengan dunia luarnya yang baru. Selama ini ia nyaman dan selalu merasa aman (kecuali saat ada Old Nick) bersama Ma. Tapi ketika di luar, ada begitu banyak hal baru yang ia temui. Begitu banyak yang haru ia ingat dan aturan yang berbeda dengan yang selama ini ia ketahui dari Ma. Dunia luar memang menakjubkan tapi terkadang Jack merindukan kehangatan selama ia hanya berdua dengan Ma.

Jarang-jarang gue ‘berhasil’ membaca buku yang masuk nomisasi A Man Booker Prize. Tapi buku ini menarik banget. Kamar sempit, tokoh yang hanya dua orang di awal-awal tetap membuat buku ini menarik. Kepolosan Jack dan Ma yang wise, percakapan mereka berdua, aktivitas yang menyenangkan meskipun sangat terbatas. Ma termasuk orang yang rapuh, bisa dilihat dari seringnya ia mengkonsumsi obat penenang, sampai nyari OD. Tapi demi Jack, ia harus kuat. Meskipun kadang-kadang ia juga gak kuat. Itulah saat-saat yang sering Jack bilang ‘The day Ma is Gone’. Sementara Jack, anak kecil yang punya rasa ingin tahu yang besar, tapi bisa dewasa dan berani.
 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang