Friday, February 27, 2009

Anne of Green Gables

Anne of Green Gables
Lucy M. Montgomery
Maria M. Lubis (Terj.)
Qanita, Cet. 2 - 2008
516 Hal.

Hampir gak pernah, gue mau baca buku-buku klasik kaya’ gini. Soalnya, takut… bahasanya ngebosenin, ceritanya yang ribet dan jadi gak menarik untuk dibaca. Buku Anne of Green Gables edisi Bahasa Inggris, udah lama banget ‘mengendon’ di dalam lemari buku gue. Mungkin ada kali hampir 10 tahun, nyaris terlupakan. Untungnya buku ini gratisan (upss… dari my mantan.. hehehe..) Lahh.. koq jadi curhat.

Buku edisi bahasa Indonesia ini, gue beli dengan rasa ketertarikan yang beda. Koq, tiba-tiba gue pengen tau, siapa sih si Anne ini? Koq sampai demikian ngetop-nya dia di dunia ‘perbukuan’. Huh… gue aja nih yang ternyata ketinggalan jaman banget.

Anne Shirley, begitu nama lengkapnya, hadir dalam kehidupan Matthew dan Marilla Cuthbert – pasangan kakak beradik yang tinggal di Green Gables, Avonlea – karena ketidaksengajaan. Pasangan yang ‘kaku’ ini tadinya berniat mencari anak yatim piatu laki-laki untuk membantu mereka bekerja. Tapi, entah kenapa, ada sebuah kesalahpahaman. Ketika Matthew menjemput anak yang dijanjikan di stasiun, yang ia temukan bukanlah anak laki-laki, melainkan anak perempuan berambut merah, berwajah bintik-bintik dengan baju yang kekecilan.

Matthew Cuthbert, yang pendiam dan pemalu, tidak terbiasa menghadapi perempuan – selain Marilla tentunya – terkejut dengan keberadaan Anne. Anne, bisa dibilang, anak yang unik. Satu halaman bisa penuh dengan percakapannya sendiri. Topik pembicaraannya juga bukan hal yang biasa, tapi penuh imajinasi – seperti yang diakui sendiri oleh Anne.

Matthew sendiri makin bingung, apa yang harus ia sampaikan pada Marilla. Marilla sempat ingin mengembalikan Anne ke Panti Asuhan. Tapi, meskipun Anne anak yang cerewet, banyak omong, ternyata, mampu memikat hati Marilla. Anne nyaris ‘hancur’, ketika ia tahu ia akan dikembalikan ke panti asuhan.

Kenakalan, imajinasi Anne yang katanya romantis… menggetarkan, sering membuat Marilla menilai Anne tidak bersikap semestinya sebagai anak perempuan. Tapi, itulah yang sebenarnya kelebihan Anne. Sifat jelek Anne, adalah saking asyiknya dia melamun, berkhayal, Anne suka lupa dengan pekerjaannya. Anne juga terkadang temperamental, gampang marah, apalagi kalau sudah menyinggung rambut merahnya.

Belum lagi kegemarannya memberi nama pada tempat-tempat yang menurut Anne begitu menggetarkan dan romantis – sebut saja Kanopi Kekasih, Buih-Buih Dryad, Ratu Salju, Danau Air Riak Berkilau. Lalu, peristiwa-peristiwa menghebohkan yang bikin semua orang yang tadinya kesal, malah tertawa – seperti bikin kue pakai minyak angin, jalan di atas genteng, hampir tenggelam. Tapi, tetap, Anne ternyata anak yang berprestasi.

Gak hanya teman-teman sebayanya yang jatuh hati pada Anne, orang dewasa pun, yang sempat sebal sama Anne, bisa luluh karena sikap Anne yang polos. Ia gak akan segan minta ma’af, meskipun awalnya gengsi setengah mati.

Buku ini jadi ceria, gue pun tersenyum-senyum dalam hati, membaca betapa ‘ribut’nya Anne. Kepolosan tapi, sebenarnya menunjukkan kedewasaan yang mungkin belum pada waktunya. Tapi, rasa sayangnya pada Marilla mampu mengalahkan keinginan Anne untuk meraih mimpinya. Toh, ia yakin, di setiap belokan, mungkin ada satu kejutan lain yang menyenangkan.

Di buku ini, dikisahkan masa empat tahun Anne tinggal di Green Gables. Masa sekolah Anne yang ceria, persaingan di antara teman-temannya, persahabatannya dengan Diana Barry, cerita tentang semua teman sejiwanya, sampai diam-diam jatuh cinta sama saingannya sendiri.

Ternyata buku ini asyik banget dibacanya. Sambil baca, gue ngebayangin setting-nya, di padang rumput a la Laura Ingalls. Begitu ‘menggetarkan’…. ‘romantis’….. Apa jadinya seseorang tanpa imajinasi? Gue pun jatuh cinta sama Anne Shirley…

Thursday, February 26, 2009

The Mysterious Benedict Society

The Mysterious Benedict Society
Trenton Lee Stewart @ 2007
Carson Ellis (Ilustrasi)
Litter Brown, April 2008 (Soft Cover)
485 Hal

Sebuah iklan di surat kabar menarik perhatian Miss Perumal. Iklan yang isinya mencari anak-anak berbakat yang menginginkan sebuah kesempatan istimewa. Langsung saja iklan ini ia sampaikan ke Reynard Muldoon, yang biasa dipanggil Reynie. Reynie adalah anak yatim piatu yang tinggal di Panti Asuhan Stonetown. Ia anak yang cerdas, tapi sering jadi olok-olokan temannya. Reynie sudah merasa sangat jenuh dengan kesehariannya di panti asuhan itu. Ia tidak boleh masuk ke sekolah berbakat, bahkan tidak juga ke sekolah biasa. Untung ada Miss Perumal yang menjadi pengajarnya. Reynie langsung tertarik dengan iklan itu, berkat bantuan Miss Perumal, Reynie bisa mengikuti tes itu.

Tes yang diadakan itu sangat aneh. Meskipun banyak yang berminat, tapi, hanya sedikit sekali anak-anak yang lolos tes tersebut. Tes-nya juga tidak hanya satu kali, tapi ada beberapa tahap yang harus dilewati Reynie. Belum lagi, ‘tes-tes’ terselubung yang ikut menentukan kelulusan tiap peserta. Hanya empat anak yang lolos dari tes itu. Empat anak dengan keistimewaan dan bakal yang berbeda… yang unik-unik. Tapi, punya satu persamaan… yaitu, kesendirian mereka.

Keempat anak itu – selain tentu saja Reynie – ada: Sticky Washington yang kurus, berkacamata dan berkepala botak, yang jenius, bisa mengingat banyak hal yang ia baca. Sticky punya nama asli George Washington. Lalu, ada Kate Wetherhal – yang selalu membawa ember yang berisi berbagai macam peralatan. Dan, terakhir, si kecil Constance Contraine – selain memang berbadan kecil mungil, Constance memang baru berusia dua tahun! Meskipun kecil, tapi Constance sangat keras kepala. Ia lulus bukan karena kepintarannya, tapi, karena sikap masa bodoh dan cueknya yang menarik perhatian si penilai.

Lalu… siapakah si Penilai ini? Si Penyelenggara sayembara atau tes aneh ini. Dia adalah Mr. Benedict. Seorang laki-laki tua yang punya misi rahasia. Meskipun kesannya misterius, tapi Mr. Benedict ini adalah orang yang kocak. Dan, punya satu ‘penyakit’ aneh, yaitu, dia akan tertidur kalau kebanyakan ketawa.

Mr. Benedict mencurigai adanya sebuah misi atau propaganda yang disebarluaskan melalui televisi, radio atau malah suara-suara ‘tersembunyi’ yang akan membuat kita selalu terngiang-ngiang. Untuk itu, Mr. Benedict mengirim tim kecil ini untuk menyelidiki kegiatan rahasia yang ada di Pulau Nomansan. Dengan briefing singkat, Reynie, Sticky, Kate dan Constance berangkat ke pulau itu dengan misi hidup atau mati.

Di Pulau Nomansan, mereka berempat datang sebagai murid baru yang akan belajar di sebuah institusi yang didirikan oleh Ledroptha Curtain. Tempat itu sangat tertutup dan penuh rahasia. Meskipun isinya adalah anak-anak yang tak kalah berbakatnya dari mereka berempat, tempat itu penuh dengan bahaya. Keempat anak itu harus ekstra hati-hati menjalani misi rahasia mereka ini.

Di L.I.V.E, mereka menemukan banyak kejanggalan, banyak teka-teki, yang harus segera mereka sampaikan ke Mr. Benedict dengan sangat hati-hati. Jika ketahuan, mereka akan segera dikirim sebuah ruang penyiksaan yang konon kabarnya sangat mengerikan.

Untuk mendapatkan informasi dan agar lebih mudah mengamati gerak-gerik Mr. Curtain, mereka berempat pun berusaha keras menjadi Messanger – murid yang punya akses ke fasilitas-fasilitas khusus. Dengan akal Reynie yang cerdik, kepintaran Sticky, kesigapan Kate dan kekeraskepalaan Constance, mereka mencari berbagai cara untuk itu.

Ceritanya menarik, meskipun kadang males juga untuk ‘ngikutin’ program Mr. Curtain yang ambisius. Tapi, tingkah laku, aksi-aksi, kecerdasan dan ide-ide Reynie dan teman-temannya – lalu rasa deg-deg-an, takut mereka ketauan kalo lagi ngumpul malem-malem, membuat gue bertahan mengikuti novel ini sampai selesai. Bahkan, rasa persahabatan mereka juga diuji, ketika Reynie harus mengalahkan rasa nyaman yang ia peroleh ketika duduk Favorit gue adalah Constance – si kecil mungil, yang ngeselin, tapi, seperti kata Reynie – yang gak akan bisa ngebayangin kalo Constance gak ada.

O ya, di buku ini, gak pernah dibilangin siapa nama depan Mr. Benedict, tapi, menurut Om Wikie… kalo kita ngerti Morse, kita bisa tau tuh, nama depan Mr. Benedict di cover buku ini.

Endingnya… tentu saja bahagia… dan, mari kita tunggu petualangan selanjutnya di buku kedua.

Monday, February 23, 2009

Tea for Two

Tea for Two
Clara Ng @2009
GPU – Pebruari 2009
312 Hal.

Tea for Two, bukan nama sebuah tempat minum-minum teh. Itu adalah perusahaan ‘perjodohan’ milik Sassy – alias sebuah usaha ‘percomblangan’. Sassy sendiri adalah seorang lajang yang sedang menanti-nantikan datangnya jodoh bagi dirinya sendiri. Tea for Two yang tadinya hanya berupa sarana pencarian jodoh, berkembang menjadi usaha wedding organizer – yang kebanyakan kliennya adalah peserta Tea for Two.

Perkenalannya dengan Alan juga karena kebetulan Sassy membantu mengurus pernikahan tante Alan. Awalnya, Sassy tidak berharap banyak dari perkenalannya itu. Tapi, siapa yang gak luluh dengan sikap Alan yang super duper romantis. Yang selalu menghujani Sassy dengan hadiah, bunga, kata-kata romantis. Meskipun, demi Alan, kadang Sassy harus mengorbankan pekerjaannya. Tapi, Sassy yang sedang jatuh cinta berat, buta dengan segala keganjilan dalam diri Alan. Bagi Sassy, sedikit berkorban demi Alan, toh, tidak akan apa-apa.

Puncaknya, adalah ketika Alan melamar Sassy, yang tentu saja diterima Sassy dengan rasa haru dan hati yang penuh cinta (aihhhh… lebaiiiii…). Bagi Sassy, kehidupan yang sempurna terbentang lebar di depan mata. Calon suami yang tampan, baik hati, romantis. Bulan madu super romantis juga sudah dirancang dengan sempurna.

Tapi, ternyata, semua yang indah itu hanya ada di kulit luarnya saja. Di hari kedua… bayangkan.. di hari kedua bulan madu mereka berdua, Sassy terkejut dengan sosok lain di balik Alan yang romantis itu. Di bulan madunya, Sassy mendapatkan ‘hadiah’ tamparan manis di pipinya, hanya karena Alan cemburu buta dan gak mau mendengarkan penjelasan Sassy.

Dan, tamparan pertama itu bukanlah jadi yang terakhir. Masih banyak kekerasan lain yang dialami Sassy, baik secara fisik maupun batin. Kehamilan Sassy pun tidak merubah perangai buruk Alan. Teman-teman Sassy juga dianggap sebagai teman yang baik oleh Alan. Singkat kata, Alan mau semua yang dia inginkan dipatuhi Sassy… kalau gak… hmmm… siap-siap menerima tanda biru di pipi.

Kenapa Sassy masih bertahan sedemikian lama? Karena, Alan bisa berubah jadi makhluk manis yang penuh penyesalan dan membuat Sassy kembali luluh. Bahkan, ketika Alan ketauan berselingkuh pun, Sassy masih mau mema’afkannya.

Ironis banget… Sassy yang setiap harinya ‘merancang’ kebahagiaan yang sempurna untuk para klien-nya, justru mendapati hidupnya bukanlah berakhir seperti dongeng-dongeng.

Dari sekian banyak novel Clara Ng (yang gue baca), rasanya ini yang paling serius. Tema KDRT, tapi untungnya dikemas dengan cukup bagus, sehingga gak menjadikan novel ini berurai air mata karena menuturkan penderitaan Sassy.

Selain ‘Malaikat Jatuh’ yang ogah gue baca karena temanya yang gak nyaman buat gue, sedikit banyak, novel ini cukup meninggalkan bekas. Tapi… apa iya, kekerasan malah bikin perempuan ‘addicted’ sampai dia gak sadar kalo dirinya udah dimanfaatkan? Apa iya, alasan perempuan pasrah ketika suaminya melakukan KDRT, justru karena hal itu seolah memacu ‘adrenalin’nya?

Monday, February 02, 2009

Spring-Heeled Jack (Jack si Pelompat)

Spring-Heeled Jack (Jack si Pelompat)
Philip Pullman
Yashinta Melati F (Terj.)
GPU – September 2008
128 Hal.

Satu lagi buku Philip Pullman yang lebih ditujukan untuk anak-anak. Tapiii… Karena, gue suka buku-bukunya Philip Pullman, buku yang tipis ini segera masuk jadi daftar bacaan… Dan… selesai hanya dalam waktu singkat.

Ceritanya sih sederhana aja. Ada tiga orang kakak-beradik – Rose, Lily dan Ned Summers. Mereka terpaksa tinggal di Panti Asuhan Alderman Cawn-Plaster Memorial, di kota London, sejak ayah mereka pergi ke Australia dan ibu mereka meninggal dunia. Di panti asuhan itu, mereka dijaga oleh dua orang pengurus yang jahat, bernama Mr. Killjoy dan Miss Gasket. Mungkin buat menggambarkan situasinya nih, bayangkan film atau sinetron a la Ratapan Anak Tiri. Hehehe… Orang-orang jahat dan anak-anak baik hati yang terlantar, tak terurus.

Untungnya, Rose, Lily dan Ned bukanlah anak yang penakut. Mereka memebuat rencana agar bisa kabur dari tempat mengerikan dan menyebalkan itu. Rencana untuk segera kabur dan menumpang kapal menuju Amerika sudah matang. Malam yang direncanakan pun tiba.

Tapi… mana ada rencana yang mulus di awal cerita.. karena kalau mereka berhasil kabur… cerita pun selesai… dan mereka pun hidup bahagia selamanya. Gak.. gak begitu .. masih panjang dan penuh liku-liku. Terpisah satu sama lain, tertangkap Mack si Pelempar Pisau yang jahat banget.

Ada orang-orang yang masih berbaik hati membantu mereka, seperti pasangan kekasih Jim, kelasi dan Polly, pelayan hotel Saveloy. Tapi, tetap saja, kepolosan mereka, malah membuat ketiga bersaudara itu kembali jatuh ke tangan Mr. Killjoy dan Miss Gasket yang licik. Tapiii… si pahlawan penyelamat dan pembela kebenaran pun muncul, dialah Jack si Pelompat. Yang mendengar nama saja sudah bikin merinding…

Dengan kostum merah menyala lengkap dengan tanduk, Jack si Pelompat malah lebih mirip ‘setan’ atau tokoh jahat. Tapi, emang bikin takut dan membuat orang harus berpikir dua kali untuk menghadapinya kalo gak mau mengalami nasib sial. Namanya juga Jack si Pelompat. Aksinya bukan dengan terbang di udara, atau merayap di dinding, atau pake alat-alat canggih seperti Batman, tapi hanya dengan melompat dari atap rumah yang satu kea tap yang lain dengan saaanggaatttt tinggi.

Ceritanya sih simple banget, alur yang mudah ditebak. Yang pasti bisa bikin kita mikir, “Pasti si anu ada hubungannya sama si anu.” Hehehe.. lagi-lagi sinetron style kan?? Tapi, ya itulah, cerita anak-anak gak mungkin dibuat ribet. Yang bikin menarik adalah ilustrasinya, yang bukan hanya sekedar penghias cerita, tapi, tetap menjadi bagian cerita yang gak mungkin dilewatkan.

Kapan ya, seri Sally Lockhart akan ada terjemahannya?

The Thirteenth Tale(Dongeng Ketiga Belas)

The Thirteenth Tale(Dongeng Ketiga Belas)
Dianne Setterfield
Chandra Novwidya Murtiana (Terj.)
GPU – November 2008
608 Hal.

Vida Winter, penulis perempuan yang novelnya selalu jadi best-seller. Novelnya selalu terkesan misterius, semisterius jati diri Vida Winter yang sebenarnya. Di setiap wawancara, kisah hidupnya selalu berubah-ubah. Sesukanya, akan seperti apa kisah dirinya ketika sedang diwawancara. Sampai suatu hari, pertanyaan – atau lebih tepat permintaan seorang wartawan mengusik hatinya. Sebuah permintaan yang sederhana: “Ceritakan padaku yang sesunggunya.” Kalimat yang menyentil Vida Winter untuk mengisahkan masa lalunya sebelum ajalnya tiba.

Margaret Lea, seorang penulis biografi muda, dipilih untuk mewujudkan keinginan Vida Winter. Margaret menerima surat yang misterius dari Vida Winter. Buku-buku Vida Winter bukanlah kategori buku-buku yang jadi favoritnya. Ayah Margaret mempunyai toko buku yang khusus menjual buku-buku langka. Itulah yang kerap jadi bacaan Margaret. Tapi, agar lebih mendapat gambaran sosok Vida Winter, Margaret membaca sebuah bukunya yang secara kebetulan ada di toko itu – buku yang paling fenomenal yang berjudul Tiga Belas Dongeng.

Dengan rasa penasaran dan berbagai pertanyaan di otaknya, Margaret pun berangkat menuju kediaman Vida Winter. Vida Winter, di masa tuanya, menyimpan banyak rahasia. Tapi, dengan berbagai aturan, rasa penasaran Margaret tidak dapat dituntaskan. Cerita harus mengalir, tanpa pertanyaan, tidak boleh melompat langsung ke bagian akhir.

Margaret pun dibawa ke masa lalu Vida Winter, ke masa kecilnya di rumah keluarga Angefield. Keluarga aneh dan cenderung menyimpan kegilaan. Charlie, si kakak laki-laki yang menyimpan cinta pada adiknya, Isabel. Lalu, Isabel yang menyia-nyiakan si kembar, anaknya. Sosok si kembar Adeline dan Emmeline yang terlantar, tapi tak terpisahkan. Lalu, tokoh pendukung, seperti tukang kebun, John-the-Dig, pengurus rumah tangga, Missus dan Hester, guru yang punya misi tersendiri.

Seperti biasa, sebenernya gue rada gak suka dengan buku ber-cover kelam, hitam seperti ini. Tapi, cerita yang rada misterius jadi ‘teredam’ dengan adanya gambar anak kembar yang lagi main-main, terus gambar nenek berpayung di cover buku. (Mirip bukunya John Connoly - The Book of Lost Things, ya?)

Buku ini kesannya sepi banget, tokohnya yang memang sedikit, lalu percakapan yang sering hanya satu arah. Lambat, tapi menarik banget. Ending cerita rada gak terduga. Misteri di cerita ini banyak banget, tapi ‘mengikuti’ aturan Vida Winter, cerita yang pelan malah jadi menarik dan masa lalunya pun pelan-pelan terungkap. Jangan langsung ke bagian akhir, karena bakal banyak banget bagian menari yang terlewatnya. Tapi, ya, memang harus sabar…
 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang