Thursday, August 30, 2007

Some Kind of Wonderful

Some Kind of Wonderful
Sarah Webb
Pan Books, 2003
495 Hal.

Rossie memang menyadari kalau kehidupan pernikahannya sedang dalam masa-masa hambar, tapi, bagi dia, rasanya belum jadi masalah. Darren, suaminya, masih bersikap mesra, meskipun sering banget pulang telat, atau keluar kota. Tapi, Rossie gak menyangka kalau pulang telat dan keluar kota itu hanya alasan. Rossie gak punya bayangan kalau Darren meninggalkan dirinya dan Cass, putri semata wayang mereka, demi seorang cewek blonde bernama Tracy. Emang sih, Darren bukan pria kebapakan. Semua urusan Cass diserahkan pada Rossie, tapi ketika mereka berpisah, Darren menuntut waktu untuk bertemu dengan Cass.

Beruntung Rossie memilik adik, Kim dan ayah, Rex, yang asyik dan selalu mendukungnya. Bahkan, Rex menawarkan kepada Rossie untuk mengelola sebuah gallery di daerah Wicklow, yang kebetulan berada di sebuah area taman hiburan yang dimiliki temannya, Connor Dunlop.

Rossie akhirnya pindah ke Wicklow, dan mengelola gallery bernama Redwood Gallery. Tapi, ternyata, Darren gak terima kalau anaknya pindah ke daerah yang jauh dari tempat tinggal mereka sebelumnya. Buntutnya, karena Darren menganggap Tracy mulai ‘menuntut’ banyak, Darren malah membujuk Rossie untuk balik lagi dengan dia.

Tokoh lainnya adalah Martina. DIa ini membuka butik di tempat yang sama dengan Rossie. Kebetulan, Martina juga kekasih Rory Dunlop, anak Connor. Tapi, hubungan mereka rada tegang ketika Rory meminta Martina untuk menikah dengannya. Ada alasan sendiri kenapa Martina menolak meskipun ia mencintai Rory.

Lain lagi, ada Anna. Ia sahabat Martina, punya play group. Bercerai dengan suami dan punya satu anak. Suami Anna gak kalah brengsek dengan suami Rossie. Connor Dunlop suka sama Anna, tapi Anna masih maju mundur.

Hhhh… cerita yang biasa aja. Woman power… suami yang selingkuh… Hehehe, entah kenapa, gue gak pernah kapok baca buku seperti ini, meskipun ceritanya juga gak banyak yang beda. Tergoda sama cover yang lucu-lucu berwarna-warni dan bikin seger…

Baca buku ini juga karena udah lama ‘terkapar’ di lemari kantor. Dibaca buat sebagai selingan baca Vienna Blood. Maklum, baca yang berdarah-darah, kaya’nya perlu pengalihan sebentar ke cerita yang ringan. Padahal, bukunya juga lumayan tebel. Karena gak terlalu berkesan… gak banyak comment, deh…

Monday, August 27, 2007

The Liebermann Papers: Vienna Blood

The Liebermann Papers: Vienna Blood
Frank Tallis
Berliani M Nugrahani (Terj.)
Qanita, 2007
592 Hal.

Pembukaan novel ini sudah cukup mengerikan. Diawali dengan matinya seekor ular besar kesayangan kaisar bernama Hiedelgard. Ular ini bukan hanya ‘sekedar’ mati. Yang bikin jadi misteri, karena ular ini ditemukan terpotong-potong menjadi 3 bagian. Inspektur Oskar Rheinhardt-lah yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus ini. Mengingat ini ular kesayangan kaisar, atasan Inspektur Rheinhardt tentu saja ingin kasus ini segera dituntaskan.

Belum lagi kasus aneh ini ditemukan jawabannya, terjadi lagi pembunuhan yang lebih sadis. Kali ini yang jadi korban bukan binatang, tapi manusia – tidak tanggung-tanggung, 4 korban sekaligus. Tepatnya, 4 orang wanita yang bekerja di rumah bordil. Kondisinya benar-benar mengerikan.

Pembunuhan itu bukan yang terakhir, karena diikuti lagi oleh dua pembunuhan lain yang tak kalah sadisnya. Inspektur Rheinhardt diliputi kebingungan memecahkan kasus pembunuhan berantai itu. Bahkan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak aman meninggalkan keluarganya di rumah.

Berdasarkan data-data yang dikumpulkan, disimpulkan korban dibunuh dengan pedang – bukti yang mengarah pada para tentara. Apalagi,dari hasil interogasi dengan saksi, rumah bordil itu sering didatangi para tentara yang ingin bersenang-senang. Lalu, ditemukan pula sebuah simbol aneh.

Inspektur Rheinhard meminta bantuan sahabatnya, Max Lieberman, yang mencoba menganalisa melalui sisi psikologisnya. Miss Lydgate juga kembali muncul untuk membantu Rheinhardt dan Lieberman.

Dari hasil penelitian Miss Lydgate, ditemukan beberapa hal yang menarik, yang sangat membantu Rheinhardt dan Lieberman dalam mengambil kesimpulan tentang si pelaku pembunuhan itu.

Pemecahan kasus ini seolah tidak mungkin, Rheinhardt dan Lieberman curiga tentang keterlibatan sebuah kelompok rahasia yang tidak akur dengan pihak kepolisian, dan mereka juga tidak begitu saja membiarkan orang luar masuk ke dalam ritual rahasia mereka. Tapi, demi mencegah terjadinya pembunuhan berikut yang diduga akan terjadi pada saat mereka menggelar ritual pengangkatan anggota baru, pimpinan organisasi itu terpaksa membiarkan Lieberman datang, meskipun untuk mencapai tempat yang ditentukan, mata Lieberman harus ditutup dan harus berjanji untuk tidak melibatkan pihak kepolisian.

Oh ya.. .satu lagi tentang Max Lieberman. Di buku ini, diceritakan, kalau Lieberman tengah dilanda kebimbangan dengan pertunangannya dengan Clara. Perasaan Lieberman mulai terombang-ambing, antara maju terus atau berhenti saja.

Kalau dibandingkan dengan novel pertamanya, A Death in Vienna, kasus di buku ini lebih sadis, lebih banyak korban dan lebih rumit. Masih dihiasi dengan musik-musik klasik dan makanan yang manis-manis tapi yummy. Satu lagi yang lucu, Lieberman terkagum-kagum dengan teknologi baru yang dipakai Rheinhardt yaitu… lampu senter. Sementara Miss Lydgate – yang menghadapi masalah gender di kampusnya - juga terlihat ‘keren dan cool’ dengan caranya menganalisa darah hewan dan darah manusia, plus waktu Rheinhardt harus menepuk-nepuk karung untuk ‘memisahkan’ debu.

Monday, August 20, 2007

The Secret of Moon Castle

The Secret of Moon Castle
Enid Blyton
Award Publication Limited – 2nd Edition, 2003
166 Hal.

Nora, Peggy, Jack dan Mike adalah anak-anak dari Mr. & Mrs. Arnold. Mereka berteman dengan Paul, seorang pangeran dari sebuah negara bernama Baronia. Mereka sudah sering menghabiskan liburan bersama yang pastinya diisi dengan petualangan.

Biasanya Paul hanya sebentar bersama anak-anak itu sampai akhirnya ia harus kembali ke Baronia. Kali ini ada kejutan yang menyenangkan, karena Ratu Baronia memutuskan untuk berlibur ke Inggris bersama keluarga Arnold. Ratu Baronia sudah meminta Mrs. Arnold mencari tempat yang cocok untuk mereka semua menghabiskan liburan musim panas kali ini.

Mrs. Arnold pun sibuk mencari sebuah kastil yang cocok untuk Ratu Baronia. Tapi, tampaknya tidak ada yang berkenan di hati Mrs. Arnold. Anak-anak nyaris kecewa. Mereka memutuskan untuk memlih sendiri kastil yang sesuai, karena Paul pasti bisa mengira-ngira selera ibunya.

Sambil menikmati menu piknik yang lezat, mereka melihat brosur-brosur, tidak ada yang menarik hati mereka, sampai akhirnya mereka menemukan sebuah brosur yang menawarkan Moon Castle. Mereka langsung jatuh hati, dan memaksa Mrs. Arnold untuk segera mengajak mereka melihat Moon Castle. Meskipun agak berat hati, Mrs. Arnold pun setuju.

Di toko es krim yang mereka singgahi untuk beristirahat, pelayan di sana memberikan informasi yang aneh. Katanya, tidak ada yang pernah mau untuk tinggal di sana, karena banyak keanehan yang terjadi di Moon Castle. Tapi, anak-anak itu pantang menyerah, justru mereka menantang berbagai misteri yang mungkin muncul.

Jalan menuju Moon Castle juga tidak bagus dan sepi, tidak ada rumah-rumah penduduk yang lain. Sampai di sana, mereka disambut pelayan yang bersikap tidak ramah – Mrs. Brimming, Eddie dan Hannah Lots. Bahkan mereka mengusir keluarga Arnold dengan mengatakan tempat itu tidak disewakan dan tidak mengijinkan ada orang asing yang boleh datang ke sana apalagi menetap. Ketika anak-anak itu hendak menjelajah salah satu menara, muncul lelaki berwajah seram yang langsung marah-marah dan mengusir mereka, ternyata laki-laki itu adalah Guy, anak Mrs. Brimming.

Mrs. Arnold akhirnya memutuskan untuk menyewa kastil itu, berpegang pada surat dari agensi yang mengiklankan kastil tersebut. Persiapan sudah dilakukan, anak-anak sudah tidak sabar menanti liburan mereka. Tapi, ada saja yang mengganggu dan nyaris membatalkan liburan mereka. Mrs. Arnold harus menemani suaminya yang seorang penerbang menguji coba pesawat baru, lalu Ratu Baronia mengabarkan kedatangannya ditunda karena salah satu saudara Paul terkena cacar air dan harus dikarantina.

Untung saja Mrs. Arnold mengijinkan anak-anak berangkat lebih dulu ditemani Dimmy, pelayan rumah tangga mereka dan Ranni, pengawal pribadi Paul.

Benar saja, banyak keanehan yang terjadi selama mereka di sana. Mulai dari muncul suara-suara misterius, buku-buku yang jatuh sendiri dari lemarinya, tempat tidur yang berpindah sendiri, lukisan-lukisan yang tampak hidup dan sikap para pelayan di sana yang semakin misterius.

Kelima anak itu bertekad menyelidiki rahasia di balik keanehan itu. Mereka tidak percaya adanya tahayul dan mencoba memecahkannya dengan logika mereka.

Buku ini mengingatkan gue pada buku-buku petualangan Lima Sekawan. Bahasanya sederhana, meskipun petualagan mereka lebih simple dibanding yang ada di Lima Sekawan. Gak ketinggalan limun, biscuit sandwich, kue cokelat yang besar dan es krim yang menemani mereka bertualang… hmmmm… Jadi bernostalgia sama Enid Blyton, nih…

O ya, untuk seri Secret ini, buku The Secret of Moon Castle (1953) adalah bagian terakhir, seri lainnya adalah: The Secret Island (1938), The Secret of Spiggy Holes (1940), The Secret Mountain (1941) dan The Secret of Killimooin (1943).

Thursday, August 16, 2007

Minoes

Minoes
Annie M. G. Schmidt
R. Indira Ismail (Terj.)
GPU, Juli 2007
200 Hal.

Tibbe adalah seorang pemuda yang bekerja sebagai wartawan di koran Killendoornse Courant. Sebenarnya sih, tulisan-tulisan Tibbe cukup bagus, karena memang Tibbe berbakat dalam hal tulis-menulis. Tapi sayang, Tibbe orang yang pemalu, tulisan-tulisannya hampir selalu berkisar tentang kucing. Oleh karena itu, meskipun bagus, menurut pemimpin redaksi koran itu, tulisan Tibbe kurang layak untuk masuk dalam koran. Tibbe harus mencari sesuatu yang baru dan menarik, kalau tidak, ia akan dipecat.

Tibbe bingung, ia memang menyukai kucing, dan menganggap berita tentang kucing selalu menarik baginya. Ternyata, kucing memang memberinya jalan keluar. Di tengah kebingungannya, ia melihat seorang perempuan muda yang bersikap aneh, karena tiba-tiba saja ia memanjat pohon tapi tidak berani turun. Semakin aneh lagi, karena Tibbe melihat perempuan bernama Minoes itu bertingkah seperti kucing.

Ternyata, Minoes memang ‘mantan’ kucing. Tiba-tiba saja ia berubah wujud jadi manusia. Maka itu, ia masih bisa berkomunikasi dengan bahasa kucing dengan para kucing yang berkeliaran di kota itu. Karena tidak punya tempat tinggal, ia bingung harus ke mana. Si Burik, kucing liar, memberi saran untuk tinggal di tempat Tibbe, yang juga memiliki seekor kucing bernama Fluff.

Tiba-tiba saja Minoes muncul di atap tempat tinggal Tibbe. Tadinya Tibbe keberatan dengan keberadaan Minoes. Tapi, ketika Minoes menyampaikan berita-berita yang bisa jadi bahan tulisan untuk Tibbe, Tibbe pun ‘mengangkat’ Minoes menjadi sekretarisnya. Minoes mendapatkan berita-berita itu dari obrolannya dengan para kucing, seperti kucing pabrik parfum, kucing sekolah, kucing gereja dan masih banyak lagi, yang tergabung dalam Kantor Berita Kucing.

Suatu hari, Si Burik yang baru melahirkan itu, mengalami kecelakaan. Setelah diusut, kecelakaan itu melibatkan orang penting di kota itu, bernama Meneer Ellemeet. Meneer Ellemeet dikenal sebagai orang yang berpengaruh dan punya berbagai macam kedudukan penting. Bahkan, ia baru saja diangkat sebagai Ketua Perlindungan Binatang.

Tapi, sebenarnya, Meneer Ellemeet tidaklah sebaik dan sehebat yang dikira orang. Belum lagi kasus Si Burik terselesaikan, ada berita baru yang menyatakan bahwa Meneer Ellemeet terlibat dalam kecelakaan dengan tukang ikan sebagai korban.

Para saksi sudah disuap agar tidak buka mulut. Tibbe menuliskan berita ini di koran, tapi langsung mendapatkan kritik pedas dan komentar sinis dari para pembaca yang mengenal sosok Meneer Ellemeet sebagai tokoh masyarakat yang baik hati. Gak ada yang percaya sama berita yang ditulis Tibbe.

Tibbe dipecat. Bukan itu saja, ia pun diusir dari tempat tinggalnya oleh induk semangnya yang pengagum Meneer Ellemeet.

Minoes dan rekan-rekan kucingnya berusaha mencari jalan untuk membantu Tibbe. Berhasilkah Minoes? Minoes sendiri sedang menghadapi dilema apakah ingin tetap jadi manusia atau kembali menjadi kucing.

Salah satu yang menarik dari buku ini adalah ilustrasinya Carl Holliander. Gue bukan penggemar kucing (malah cenderung sebel ngeliat kucing dan mendengar kucing yang mengeong-ngeong), tapi, gara-gara baca buku ini, gue jadi ngebayangin tiap ada kucing lagi mengeong, kira-kira ada berita apa hari ini? Satu lagi, gue inget dulu juga ada cerita Disney yang judulnya ‘Kucing Ningrat’. Jarang-jarang kucing jadi ‘tokoh utama’, selama ini kaya’nya kebanyakan anjing yang selalu diceritain sebagai ‘sahabat manusia.’

Monday, August 06, 2007

Century

Century
Sarah Singleton
Poppy Damayanti Chusfani (Terj.)
GPU – 2007
248 Hal.

Mercy dan adiknya, Charity, tinggal di sebuah rumah bernama Century dalam musim dingin panjang yang sepertinya tidak akan pernah berakhir. Mereka tinggal bersama ayah mereka, Trajan Verga, dan dua orang pelayan – Aurelia dan Galatea yang masih terhitung kerabat mereka. Sedangkan ibu mereka, Thecla, sudah meninggal. Di sekitar rumah mereka, tidak ada rumah-rumah lain. Mereka benar-benar hidup sendiri.

Keluarga Verga menjalani ritme kehidupan yang aneh. Mereka menjalani hari-hari yang ‘terbalik’. Mereka bangun ketika matahari terbenam dan tidur menjelang fajar. Seperti layaknya anak-anak normal, Mercy dan Charity juga belajar di bawah pengawasan Galatea. Sementara Aurelia lebih banyak mengurus dapur. Mercy dan Charity juga berjalan-jalan di luar rumah, hanya saja semua itu dilakukan di malam hari.

Mercy memiliki kelebihan, yaitu bisa melihat hantu. Tapi, tidak satu pun hantu itu bisa membuatnya takut. Sampai di satu malam, Mercy berjalan-jalan ke kolam di dekat rumahnya. Di kolam yang membeku itu, ia melihat hantu wanita yang seolah ingin mengatakan sesuatu. Berbeda dengan biasanya, kali ini Mercy merasa ketakutan.

Sejak saat itu, di kepala Mercy timbul berbagai pertanyaan. Selain masalah hantu wanita di kolam es itu, Mercy menemukan sekuntum bunga snowdrop di bantalnya, bunga tanda musim semi tiba, sebuah musim yang sudah lama tidak pernah ia jumpai. Ditambah lagi dengan kemunculan laki-laki misterius bernama Claudius, yang mengatakan bahwa Mercy bisa bebas dan bisa melihat ibunya lagi. Mulailah Mercy bertanya-tanya kepada Trajan dan juga Galatea tentang ibunya. Karena ia merasa, ia tidak ingat kapan ibunya meninggal, bahkan kenangan tentang ibunya pun sudah memudar dari ingatannya. Tapi, Trajan dan Galatea bersikap tertutup, menghindar dari pertanyaan-pertanyaan Mercy.

Mercy semakin merasa banyak kejanggalan dalam rumah mereka. Sampai akhirnya, berkat ‘tuntunan’ hantu gadis kecil yang sering dilihatnya, Mercy menemukan sebuah pintu yang akan menuju kepada sebuah jawaban misteri rumah mereka. Ternyata ada labirin-labirin yang menyelubungi rumah mereka, dan Mercy harus mematahkan sebuah mantra untuk bisa membebaskan mereka semua. Mercy harus menulis ulang kisah hidup mereka, seperti yang sudah dilakukan Trajan.

Ada alasan kenapa Trajan menulis sebuah kisah yang membuat mereka ‘tersembunyi’ dari dunia luar. Keluarga Verga ini bisa dibilang kaya’ Highlander, mereka bisa hidup ‘abadi’, kecuali karena terbunuh. Atau.. bisa juga kaya’ vampire, minus darah, karena mereka hidup di malam hari. Karena alasan ‘berbeda’ dengan orang biasa-lah, Keluarga Verga pindah dari Italia – yang mereka sebut negara lama - ke Inggris. Dengan harapan tidak ada yang memperhatikan perbedaan mereka. Masalah sebenarnya berawal ketika Claudius jatuh cinta pada Marietta yang ‘orang biasa’.

Kalau dipikir-pikir, Claudius dan Trajan seperti seorang ‘psikopat’ yang gak mau kehilangan apa yang mereka miliki… terutama karena cinta sih… misalnya Claudius yang ingin mengambil ‘roh’ Marietta agar Marietta bisa hidup abadi, juga Trajan yang langsung ‘down’ karena kematian Thecla. Kesannya egois banget.

Waktu ngeliat cover-nya, gue jadi inget cerita ‘The Ghost Writer’. Agak membingungkan di awal, soalnya, kita gak tahu asal mula kenapa keluarga Verga selalu hidup di malam hari. Dan… seperti biasa… selalu gak comfort kalo baca cerita yang ada hantu-hantu melayang-layang… ehh.. pake ditambah hantu di dalam kolam itu. Hehehe… tapi.. tetap aja, pengen baca. Sempet pengen berhenti di tengah jalan.. tapi, penasaran juga sih…

Thursday, August 02, 2007

Glonggong

Glonggong
Junaedi Setiyono
Penerbit Serambi – Cet. 1, Juli 2007
293 Hal.

Glonggong, adalah sebuah permainan daerah, permainan perang-perangan dengan menggunakan pedang glonggong – pedang dari tangkai daun pepaya - sebagai senjata.

Buku ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang anak keturunan priyayi di Jawa yang kemudian lebih dikenal dengan nama ‘Glonggong’. Glonggong tidak mengenal siapa ayah kandungnya, ia hanya tahu sosok ibunya yang lebih sering mengurung diri di kamar. Ayah tirinya pun lebih banyak berada di luar rumah dan jarang pulang.

Meskipun anak seorang Raden, Glonggong lebih banyak bermain dengan anak-anak kampung untuk bermain glonggong. Awalnya ia hanya duduk memperhatikan anak-anak lain bermain, tapi, semakin ia besar, ia mulai diperbolehkan ikut bermain glonggong. Makin lama, Glonggong dikenal sebagai ‘petarung’ yang tangkas, tidak ada lagi yang memanggil nama aslinya, kecuali dua orang pembantu di rumahnya. Ia semakin dikenal dengan nama ‘Glonggong’, nama yang akan menentukan jalan hidupnya di kemudian hari.

Dari permainan glonggong itu, ia menemukan kawan dan juga lawan. Tidak hanya dari kalangan pribumi, tapi juga dua orang anak Belanda yang kemudian memberikannya sebuah glonggong istimewa dan buku ‘Gulliver’s Travel’.

Di usia 17 tahun, Glonggong harus kehilangan ibunya. Rumahnya terbakar. Glonggong hidup sebatang kara. Ia diajak bekerja sebagai ‘centeng’ di rumah seorang bangsawan Jawa. Ketika itu, masa perang Pangeran Dipanegara. Banyak bangsawan Jawa yang lebih memilih untuk tunduk kepada pemerintah Belanda dibanding memberontak. Glonggong merasa beruntung bisa bekerja pada seseorang yang ternyata berpihak pada Pangeran Dipanegara.

Sambil bekerja, Glonggong terus mencari tahu keberadaan ayahnya dan juga keluarganya yang lain. Tapi, ternyata, Glonggong sering dikhianati oleh orang yang ia percaya. Berkali-kali Glonggong harus berhadapan dengan lawan yang selama ini ia tahu adalah temannya.

Ada kebanggaan tersediri ketika akhirnya Glonggong mendapat kesempatan untuk ikut membantu membawa barang berharga milik Pangeran Dipanegara. Di tengah jalan, ada komplotan perampok yang mencegatnya, dan mencuri barang berharga itu. Meskipun sudah melawan, tapi tetap Glonggong harus mengalami luka parah.

Glonggong termasuk orang yang pantang menyerah. Demi tugasnya, ia bertekad mencari tahu di mana barang berharga itu ada dan mengembalikan pada pemilik sahnya.

Dalam perjalanannya, glonggong-lah yang selalu setia menemani Glonggong. Ia tidak mau membawa senjata tajam, pistol atau apa pun selain glonggong.

Cerita di buku ini berlatar belakang Perang Pangeran Dipanegara (Diponegoro). Gue jadi inget film ‘November 1828’. Biarpun pusat ceritanya hanya pada satu orang, tapi, gak bikin buku ini jadi membosankan... malah, ternyata.. asyik banget… biasanya, gue termasuk yang lama kalo baca buku ‘serius’ begini, tapi… hmmm… lumayan.. gak sampe satu minggu udah selesai.

Setiap pergantian bab, ditulis dalam bahasa Jawa. Sempet bikin kening berkerut juga karena gak ngerti apa artinya, bolak-balik ke halaman paling belakang, ternyata ada Glosari-nya.

 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang